Cari

Selasa, 09 Agustus 2016

KONFLIK KAMBOJA
Nama Kelompok :
1.          Muhammad Ichbal                    (21)
2.          Muhammad Irfaan Yolanda       (22)
3.          Nurun Nubuwati                       (23)
4.          Puspasari Wahyu Nugraheni     (24)
XII IPS 2


Kamboja atau Kampuchea merupakan negara di Asia Tenggara yang semula berbentuk Kerajaan di bawah kekuasaan Dinasti Khmer di Semenanjung Indo-China antara Abad Ke-11 dan Abad Ke-14. Rakyat Kamboja biasanya dikenal dengan sebutan Cambodian atau Khmer, yang mengacu pada etnis Khmer di negara tersebut.
Kamboja menghebohkan dunia ketika komunis radikal Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berkuasa pada tahun 1975. Saat itu, Pol Pot memproklamirkan Kamboja sebagai sebuah negara baru. Ia menyebut tahun 1975 sebagai “Year Zero”. Segala sesuatunya ingin dibangun dari titik nol. Tanggal 17 April 1975 dinyatakan sebagai Hari Pembebasan (Liberation Day) dari rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Ternyata, pembebasan yang dijanjikan Pol Pot justru merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat Kamboja. Pada periode 1975-1979, 1,5 hingga 2 juta penduduk atau sekitar 20% dari jumlah populasi dari 7-8 juta penduduk tewas dibantai oleh rezim Khmer Merah dalam rangka revolusi ekstrimis agraris. Khmer Merah merupakan Partai Komunis Kamboja pimpinan Pol Pot yang memerintah Kamboja 1976-1979.
Tindakan genosida yang dilakukan oleh rezim Khmer Merah merupakan titik klimaks dari konflik yang dialami Kamboja sejak memperoleh kemerdekaan dari Perancis pada tanggal 9 November 1953. Khmer Merah menduduki tampuk kekuasaan setelah berhasil menggulingkan Republik Khmer Lon Nol pada 17 April 1975. Republik Khmer Lon Nol yang beraliran kapitalis pro-AS menjadikan Kamboja berada dibawah hegemoni AS untuk melawan Vietnam Utara.
Akan tetapi, Angkatan darat dan armada laut Amerika Serikat justru mengubah Kamboja menjadi medan pertempuran dalam rangka melawan komunisme Vietnam Utara. Lebih dari 100.000 penduduk sipil Kamboja tewas akibat petaka yang dijatuhkan pesawat pembom Amerika B-52. Pada akhirnya, pemerintahan Lon Nol kehilangan dukungan dari rakyatnya yang mengakibatkan destabilitasi ekonomi dan militer di Kamboja dan gelombang dukungan terhadap Pol Pot.
Pada 17 April 1975, Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot berhasil menggulingkan kekuasaan dan menjadi pemimpin Kamboja. Hanya dalam beberapa hari saja, rezim baru ini telah menghukum mati sejumlah besar rakyat Kamboja yang tadinya bergabung dengan rezim Lon Nol. Penduduk Phnom Phen dan juga penduduk di provinsi lain terpaksa keluar dari kota dan pindah ke daerah-daerah penampungan. Phnom Phen menjadi kota mati. Seluruh perekonomian di seluruh negeri berubah di bawah garis keras komunis, Uang hilang dari peredaran. Akibat dari semua itu adalah terjadinya kelaparan dan wabah penyakit di daerah tersebut.
Selama 44 bulan berikutnya, jutaan orang Kamboja menjadi korban teror dari Khmer Merah. Para pengungsi yang berhasil lari ke Thailand menceritakan kekejaman kelompok ini yang antara lain menghukum mati anak-anak hanya karena mereka tidak lahir dari keluarga petani. Selain itu orang-orang keturunan Vietnam dan Cina juga turut diteror dan dibunuh. Siapa saja yang disangka sebagai orang yang berpendidikan, atau menjadi angota dari keluarga pedagang pasti dibunuh dengan cara dipukul sampai mati, bukan dengan ditembak dengan dalih untuk menghemat amunisi.
Pada bulan Agustus 1976, Pol Pot menjalankan Rencana Empat Tahun untuk meningkatkan produksi pertanian sebagai produk ekspor melalui industrialisasi pertanian dan pengembangan industri ringan beragam. Khmer Merah menjadikan seluruh penduduk sebagai buruh budak paksa pada proyek pertanian besar-besaran yang diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi.
        Pada masa pemerintahan Pol Pot, sekitar 20% rakyat Kamboja tewas akibat kebijakan utopis Pol Pot. Disamping itu, kebijakan tersebut menyebabkan rakyat Kamboja telah kehilangan rasa moralitasnya hingga mengubah karakter budaya Kamboja secara signifikan karena meraka hanya diwajibkan patuh terhadap pemerintah.
Masa empat tahun Pol Pot dan Khmer Merahnya berkuasa di Kamboja, adalah masa yang membuat seluruh dunia geger. Khmer Merah berupaya mentransformasi Kamboja menjadi sebuah negara Maois dengan konsep agrarianisme. Rezim Khmer juga menyatakan, tahun kedatangan mereka sebagai “Tahun Nol” (Year Zero). Mata uang, dihapuskan. Pelayanan pos, dihentikan. Kamboja diputus hubungannya dengan luar negeri. Hukum Kamboja juga dihapuskan. Rezim Khmer Merah dalam kurun waktu tersebut diperkirakan telah membantai sekitar dua juta orang Kamboja.
        Ada sekitar 343 “ladang pembantaian” yang tersebar di seluruh wilayah Kamboja. Choeung Ek adalah “ladang pembantaian” paling terkenal. Di sini, sebagian besar korban yang dieksekusi adalah para intelektual dari Phnom Penh, yang di antaranya adalah: mantan Menteri Informasi Hou Nim, profesor ilmu hukum Phorng Ton, serta sembilan warga Barat termasuk David Lioy Scott dari Australia. Sebelum dibunuh, sebagian besar mereka didokumentasikan dan diinterogasi di kamp penyiksaan Tuol Sleng.
        Di “ladang pembantaian” ini, para intelektual diinterogasi agar menyebutkan kerabat atau sejawat sesama intelektual. Satu orang harus menyebutkan 15 nama orang berpendidikan yang lain. Jika tidak menjawab, mereka akan disiksa. Kuku-kuku jari mereka akan dicabut, lantas direndam cairan alkohol. Mereka juga disiksa dengan cara ditenggelamkan ke bak air atau disetrum. Kepedihan terutama dirasakan kaum perempuan karena kerap diperkosa saat diinterogasi.
Pada tanggal 25 Desember 1978, setelah beberapa pelanggaran terjadi di perbatasan antara Kamboja dan Vietnam, tentara Vietnam menginvasi Kamboja. Tanggal 7 Januari 1979, pasukan Vietnam menduduki Phnom Penh dan menggulingkan pemerintahan Pol Pot. Pemerintahan boneka lalu dibentuk di bawah pimpinan Heng Samrin, mantan anggota Khmer Merah yang telah membelot ke Vietnam. Namun pemerintahan baru ini tidak diakui oleh negara-negara Barat. Sementara Pol Pot dan para pengikutnya lari ke hutan-hutan dan kembali melakukan taktik gerilya dan teror.
Tindakan keji Khmer Merah terhadap Rakyat Kamboja mendapat kecaman keras dari masyarakat internasional yang menganggap bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah bentuk pelanggaran HAM. Namun demikian, kegemilangan People’s Republic of Kampuchea (PRK) melengserkan Khmer Merah dan tampil sebagai pemimpin baru Kamboja justru mendapat kecaman dari dunia internasional.
Menanggapi reaksi keras masyarakat internasional, Vietnam mendeklarasikan pembelaan bahwa tindakan okupasi yang dilakukannya semata-mata dilakukan demi pembebasan rakyat Kamboja dari rezim Pol Pot yang keji. Mayoritas masyarakat internasional menolak mengakui rezim Heng Samrin sebagai pemerintahan yang sah di Kamboja dan masih tetap mengakui rezim Khmer Merah sebagai pemerintahan yang sah mewakili Kamboja di forum internasional.
        Invasi Vietnam dianggap sebagai tindakan ilegal dan melanggar norma-norma internasional seperti azas untuk menentukan hak sendiri serta kebebasan dari campur tangan pihak asing. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara bulat komunitas dunia menghendaki agar pasukan atau kekuatan asing dapat segera keluar dari Kamboja.
Di bawah tekanan internasional, Vietnam akhirnya menarik tentara pendudukan dari Kamboja. Keputusan dilakukan secara terpaksa karena adanya sanksi ekonomi terhadap Kamboja dan pemberhentian dukungan terhadap Vietnam oleh Uni Soviet. Dalam invasi Vietnam, pada tahun 1978 hingga 1989 mengakibatkan 65.000 tewas terbunuh, 14.000 di antaranya adalah warga sipil.
Pada tahun 1982, Tiga kelompok (faksi) yang masih bertahan di Kamboja yaitu Khmer Merah, dan Front kemerdekaan nasional, netral, kedamaian dan kerja sama Kamboja (FUNCINPEC) pimpinan Pangeran Sihanouk, serta Front nasional kebebasan orang-orang Khmer yang dipimpin oleh perdana menteri yang terdahulu yaitu Son Sann, membentuk koalisi yang bertujuan untuk memaksa keluar tentara Vietnam. Tahun 1989, tentara Vietnam akhirnya mundur dari Kamboja.
Tahun 1992, PBB (UNTAC), mengambilalih sementara pemerintahan negara ini. Tahun berikutnya, PBB menggelar pemilu demokratis yang dimenangkan oleh FUNCINPEC. Faksi ini kemudian membentuk pemerintahan koalisi bersama Partai Rakyat Kamboja (CPP) pimpinan Hun Sen.
Sekarang, Kamboja telah berkembang pesat berkat bantuan dari negara-negara asing. Negara ini bahkan telah menggelar persidangan terhadap seorang mantan pemimpin Khmer Merah atas dakwaan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Rakyat di kota dan desa juga telah hidup tenang walaupun dihantui bahaya ranjau darat yang masih banyak bertebaran di seluruh penjuru negeri.
Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar