Cari

Selasa, 20 September 2016

Kelompok 1
1)      Ahza Arza Nulhaq                        (01)
2)      Annina Hurriyyati Tanzil              (02)
3)      Annisa Ramadhika Widowati       (03)
4)      Argayoga Laksana Satya Graha    (04)
5)      Audita Kusuma Astuti                   (05)
6)      Bagaskara Dwi Wahyu Jati           (06)
Kelas : XII IPS 2
KEADAAN POLITIK PADA AWAL KEMERDEKAAN
Keadaan kehidupan politik indonesia pada awal kemerdekaan masih belum stabil. Hal ini disebabkan oeh faktor faktor sebagai berikut :
a.       Faktor intern
·         Adanya persaingan antar partai politik yang berbeda ideologi untuk menjadi partai yang paling berkuasa atau berpengaruh di Indonesia.
·         Adanya gangguan gangguan keamanan dalam negeri.
·         Bangsa indonesia masih mencari sistem pemerintahan yang cocok sehingga terjadi perubahan sistem pemerintahan yang berulang-ulang dan menyebabkan ketidakpastian pemerintahan.
b.       Faktor ekstern
·         Kedatangan sekutu inggris yang dibonceng oleh nica belanda yang ingin kembali untuk menjajah indonesia, dan menyebabkan pertempuran perlawanan di berbagai daerah.
·         Jepang masih mmpertahankan status quo di wilayah indonesia samapai sekutu datang sehingga sering terjadi peperangan antara rakyat indonesia dan tentara jepang.
Pada awal kemerdekaan RI pemerintah mengeluarkan kebijakan politik diantaranya:
·     Pembentukan Lembaga-Lembaga Kelengkapan Negara
Dalam rangka pembentukan lembaga-lembaga negara ini, maka presiden menetapkan membentuk lembaga-lembaga negara yang erat kaitannya dengan masalah-masalah awal yang dihadapi Indonesia. Lembaga-lembaga negara yang perlu dan mendesak untuk dibentuk oleh pemerintah pada saat itu adalah sebagai berikut :

a.       Pembentukan Lembaga Kementrian (Departemen)
Menteri merupakan jabatan yang memimpin departemen-departemen. Oleh karena itu, pembentukan lembaga kementrian juga diikuti dengan pembentukan departemen-departemen. Departemen ini menangani bidang-bidang yang lebih khusus lagi, sehingga seorang menteri yang diangkat untuk memimpin departemen, hendaknya memahami bidang yang akan ditanganinya itu. Departemen-departemen yang dibentuk beserta menteri-menteri yang diangkat adalah sebagai berikut :
·         Departemen Dalam Negeri : R.A.A. Wiranata Kusumah,
·         Departemen Luar Negeri : Mr. Ahmad Subardjo,
·         Departemen Keuangan : Mr. A.A Maramis,
·         Departemen Kehakiman : Prof.  Mr. Dr. Soepomo,
·         Departemen Kemakmuran : Ir. Surahman T. Adisurjo,
·         Departemen Keamanan Rakyat : Supriyadi,
·         Departemen Kesehatan : Dr. Buntaran Martoatmodjo,
·         Departemen Pengajaran : Ki Hajar Dewantara,
·         Departemen Penerangan : Mr. Amir Syarifuddin,
·         Departemen Sosial : Mr. Iwa Kusumasumantri,
·         Departemen Pekerjaan Umum : Abikusno Tjokrosujoso,
·         Departemen Perhubungan (a.i) : Abikusno Tjokrosujoso

b.      Pembentukan Komite Nasional Indonesia dan Daerah
Dalam rapat PPKI tanggal 22 Agustus 1945 di gedung Kebaktian Rakyat Jawa (Gambir Selatan,  Jakarta ) dibahas tiga masalah utama yang pernah dibicarakan dalam sidang sebelumnya. Pertemuan itu dipimpin oleh wakil presiden Republik Indonesia Drs. Mohammad Hatta. Hasil yang dicapai adalah sebagai berikut :
1)      KNI (Komite Nasional Indonesia) merupakan badan atau lembaga berfungsi sebagai dewan perwakilan rakyat sebelum dilaksanakannya pemilihan umum (pemilu). KNI ini disusun dari tingakt pusat hingga ke tingkat daerah.
2)      PNI (Partai Nasional Indonesia) dirancang menjadi partai tunggal negara Republik Indonesia, tetapi dibatalkan.
3)      BKR (Badan Keamanan Rakyat) berfungsi sebagai penjaga keamanan umum pada tiap-tiap daerah.
Pada tanggal 03 November 1945 pemerintah mengeluarkan Maklumat Politik yang di tandatangani oleh Wakil Presiden Republik Indonesia. Isi dari Maklumat Politik itu adalah sebagai berikut :
1)      Pemerintah menghendaki adanya partai-partai politik,karna partai politik itu dapat membuka jalan buat semua aliran atau paham yang ada dalam masyarakat.
2)      Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun sebelum di laksankannya pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946.

Akibat dikeluarkannya maklumat pemerintah 3 november 1945, di Indonesia akhirnya muncul banyak partai politik, seperti :
-          Majelis Syuro Muslimin Indonesian (Masyumi), dipimpin oleh Dr.Soekiman Wirdjosandjodjo.
-          Partai Komunis Indonesia , dipimpin oleh Mr. Moh. Yusuf.
-          Partai Buruh Indonesia , dipimpin oleh Njono.
-          Partai Rakyat jelata , dipimpin oleh Sutan Dewanis .
-          Partai Kristen Indonesia , dipimpin oleh Ds. Probowinoto.
-          Partai Sosialis Indonesia , dipimpin oleh Mr. Amir Syarifudin.
-          Partai Rakyat Sosialis, dipimpin oleh Sutan Syahrir.
-          Partai Katolik Indonesia, dipimpin oleh I.J. Kasimo.
-          Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia, dipimpin oleh J.B.Assa.
-          Partai Nasional Indonesia , dipimpin oleh Sidik Djodjosukarto

·      Pembentukan Provinsi di Seluruh Wiayah Indonesia
Pada awalnya wilayah Indonesia dibagi 8 provinsi dan mengangkat Gubernur sebagai kepala daerah. Gubernur-gubenrur yang diangkat antara lain :
1)      Provinsi Sumatra                                       : Teuku Muhammad Hasan
2)      Provinsi Jawa Barat                                  : Sutarjo Kartahadikusumo
3)      Provinsi Jawa Timur                                  : RM Surjo
4)      Provinsi Jawa Tengah                               : R. Panji Suroso
5)      Provinsi Sunda Kecil ( Nusa Tenggara)    : Mr. I Gust Ketut Pudja
6)      Provinsi Maluku                                        : Mr. J. Latuharhary
7)      Provinsi Sulawesi                                      : Dr. G.S.SJ. Ratulangi
8)      Provinsi Kalimantan                                  : Ir. Pangeran Moh. Noor

·      Pembentukan Lembaga Pemerintahan di Daerah
Ø  Lembaga Pemerintah Daerah ; Dipimpin oleh kepala daerah dan tugasnya menjalankan pemerintahan atas daerah yang dikuasainya.
Ø  Lembaga Komite Nasional Daerah (KNI-D); Tuasnya membantu gubernur menjalankan tugas dan kepengawasan dalam tugas-tugas gubernur sebelum terbentuknya DPR melalui pemilihan umum.
Ø  Lembaga Teknis Daerah; lembaga ini disubut dengan Dinas, dan terdiri atas Badan Penelitian dan Pengembangan, Badan Perencanaan, Lembaga Pengawasan, Badan Pendidikan dan sebagainya.
Ø  Dinas Daerah; lembaga ini merupakan unsure pelaksana dari pemerintah daerah yang menyeenggarakan urusan-urusan rumah tangga daerah itu sendiri.
Ø  Wakil Kepala Daerah; merupakan pembantu kepala daerah yang menjalankan tugas dan wewenangnya sehari-hari.
Ø  Sekaertariat Daerah; Tugasnya membatu Kepala Daerah di dalam menyelenggarakan  pemerintahan atas daerah yang di perintahnya.

·         Perubahan sistem pemerintahan di Indonesia dibagi menjadi:
1)      Sistem pemerintahan presidensial ( 18 Agustus 45 – 27 Desember1949 ). Bentuk negara merupakan negara kesatuan dengan konstiusi UUD 1945.
2)      Sistem pemerintahan parlementer ( 27 Desember-15 Agustus 1950 ). Bentuk negara serikat, bentuk pemerintahan republik dan konstitusi RIS.
3)      Sistem pemerintahan parlementer ( 15 Agustus-5 Juli 1959 ). Bentuk negara kesatuan, bentuk pemerintahan republik, dan konstitusi UUDS 1950.
4)      Sistem pemerintahan presidensial (5 Juli 1959-22 Februari 1966. Bentuk negara kesatuan, bentuk pemerintahan republik, dan konstitusi UUD 1945. 
5)      Sistem pemerintahan presidensial (22 Februari 1966-21 Mei 1998). Bentuk negara kesatuan, bentuk pemerintahan republik, dan konstitusi UUD 1945.
6)      Sistem pemerintahan presidensial (1998-sekarang). Bentuk negara kesatuan, bentuk pemerintahan republik, dan konstitusi UUD 1945.
Sistem pemerintahan RI menurut UUD 1945 tidak menganut suatu sistem dari negara manapun, melainkan suatu sistem yang khas bagi bangsa Indonesia. Hal ini tercermin dari proses pembentukan bangsa NKRI yang digali dari nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia sendiri. Menurut UUD 1945, kedudukan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sistem ketatanegaraan yang kepala pemerintahannya adalah presiden dinamakan sistem presidensial. Presiden memegang kekuasaan tertinggi negara di bawah pengawasan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam pelaksanaan sistem pemerintahan ini, terdapat beberapa perubahan pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia, sebelum dan sesudah Amandemen UUD 1945.
a.       Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Diamandemen. Yang menjadi pokok dari sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut.
1.       Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)
2.       Sistem Konstitusional
3.       Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat
4.       Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5.       Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
6.       Menteri negara ialah pembantu presiden, selain itu menteri negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
7.       Kekuasaan kepala negara tidak terbatas.
Dan juga terdapat beberapa konflik yang pernah terjadi antara Indonesia dengan Belanda pada awal kemerdekaan, antara lain yaitu :
1.       Kedatangan tentara sekutu dan NICA
2.       Konflik Indonesia Belanda di berbagai daerah seperti :
a.       Pertempuran di Surabaya
b.       Peristiwa Merah Putih di Manado
c.       Pertempuran Ambarawa –Magelang
d.       Pertempuran di Medan Area
e.       Bandung Lautan Api.
Sumber :

Senin, 19 September 2016

KELOMPOK 5
1)         Riska Ayu Wulandari                         (XII IPS2 / 25)
2)         Safrida Alivia Sri Ananda                  (XII IPS2 / 26)
3)         Satrio Budi Utomo                              (XII IPS2 / 27)
4)         Septiani Eka Wahyu Pratiwi               (XII IPS2 / 28)
5)         Septian Adi Hananto                          (XII IPS2 / 29)
6)         Sri Agung Wisnu Wardhani               (XII IPS2 / 30)
7)         Wasis Singgih Sasono                        (XII IPS2 / 31)

KMB dan Pengakuan Kedaulatan
Serta Dampak Yang Ditimbulkan Bagi Bangsa Indonesia Maupun Belanda

Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah sebuah titik terang bagi bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda, menyelesaikan sengketa antara Indonesia-Belanda, dan berusaha menjadi negara yang merdeka dari para penjajah.  Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan tindak lanjut dari Perundingan Roem-Royen. Sebelum KMB dilaksanakan, RI mengadakan pertemuan dengan BFO (Badan Permusyawaratan Federal). Pertemuan ini dikenal dengan dengan Konferensi Inter-Indonesia (KII) Tujuannya untuk menyamakan langkah dan  sikap sesama bangsa Indonesia dalam menghadapi KMB.
Konferensi Meja Bundar (KMB) dibuka secara resmi di Ridderzaal, Den Haag, Belanda pada tanggal 23 Agustus 1949. Berikut ini adalah delegasi-delegasi yang menghadiri KMB:
1.         Delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta.
2.         Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II.
3.         Delegasi UNCI dihadiri oleh Chritchley, Merle Cochran, dan Heermans.
4.         Delegasi Belanda dipimpin oleh J.H. van Maarseveen.
KMB ini dipimpin oleh PM. Belanda, W. Dress dari tanggal 23 Agustus sampai dengan tanggal 2 November 1949. KMB ini berlangsung malalui perdebatan yang panjang. Akhirnya, setelah melalui perundingan yang berlarut-larut pada tanggal 2 November 1949 tercapailah persetujuan KMB.
Berikut ini adalah hasil persetujuan yang telah dicapai dalam KMB:
1.         Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
2.         Masalah Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun sesudah pengakuan kedaulatan.
3.         Akan didirikan Uni Indonesia Belanda berdasarkan kerja sama.
4.          Pengembalian hak milik Belanda oleh RIS dari pemberian hak konsesi dan izin baru untuk perusahaan.
5.         RIS harus membayar segala utang Belanda yang diperbuatnya sejak tahun 1942.
 Untuk menindaklanjuti hasil KMB maka tanggal 16 Desember 1949 Ir. Soekarno dilantik sebagai presiden RIS dan pada tanggal 17 Desember 1949 diambil sumpahnya. Pada tanggal 20 Desember 1949, Presiden Soekarno membentuk kabinet RIS yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta sebagai perdana menterinya.
Pada tanggal 23 Desember 1949, delegasi RIS yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta berangkat ke Belanda untuk menandatangani naskah pengakuan kedaulatan RI dari pemerintah Belanda. Upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan tersebut dilakukan pada waktu yang bersamaan, baik di Indonesia maupun di Belanda yaitu pada tanggal 27 Desember 1949.
Di Belanda, yang menandatangani naskah penyerahan kedaulatan adalah Ratu Yuliana, PM. Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. AM.J.A. Sassen, dan ketua delegasi RIS, Drs. Moh. Hatta. Sementara itu, di Jakarta penyerahan kedaulatan dilakukan oleh Wakil Tinggi Mahkota A.H.J. Lovink dan Ir. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam suatu upacara penyerahan kedaulatan.
Dampak dari Perundingan KMB
A.       Bagi Indonesia

1.         Dampak Positif
KMB telah memberikan dampak yang cukup menggembirakan bagi bangsa Indonesia karena sebagian besar hasil dari KMB telah berpihak pada kepentingan bangsa Indonesia, sehingga dampak positifnya pun dapat dirasakan oleh seluru bangsa Indonesia. Adapun dampak dari hasil KMB bagi bangsa Indonesia, antara lain:
·            Berhentinya perang antara belanda dan Indonesia 
·            Diakuinya Indonesia sebagai sebuah negara oleh Belanda
·            Penarikan mundur tentara-tentara Belanda di seluruh wilayah Indonesia
2.         Dampak Negatif
·            Tertundanya penyelesaian masalah Irian Barat
·            Hutang Belanda sejak tahun 1942 sampai disepakatinya RIS akan ditangung RIS
·            Indonesia menjadi negara bagian RIS yang berada di bawah pengawasan dari pemerintah Belanda

B.        Dampak bagi Belanda :

·            Kapal-kapal perang Belanda akan
ditarik dari Indonesia dengan catatan
beberapa korvet akan diserahkan
kepada RIS.
·            Tentara Kerajaan Belanda selekas
mungkin ditarik mundur, sedang Tentara
Kerajaan Hindia Belanda (KNIL)
akan dibubarkan dengan catatan bahwa
para anggotanya yang diperlukan akan
dimasukkan dalam kesatuan TNI.
Dengan penyerahan kedaulatan itu, maka secara formal Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dan mengakui kekuasaan negara Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, kecuali Irian Barat yang baru akan diserahkan setahun kemudian.



Anggota kelompok : 1. Bima Setya Aji                             (07)
                                     2. Diana Rofita Sari                        (08)
                                     3. Diza Wahyu Ardiansyah           (09)
                                     4. Dyah Kusuma Alafsyah            (10)
                                     5. Fuskha Nur Islami                      (11)
                                     6. Gardhika A.E.L                           (12)
Kelas                          :  XII IPS 2

Kehidupan Politik Kurun Waktu Januari-Juli 1946

Pada awal tahun 1946 saat dimana Jakarta dalam keadaan yang genting. Contohnya rawan
oleh terror dan intimidasi pihak asing.
Pada tanggal 04 Januari 1946 para petinggi bangsa harus memindahkan ibu kota Negara ke Yogyakarta untuk sementara waktu. Asalan pemilihan Yogyakarta adalah bahwa di kota ini terdapat markas besar tentara, pasukan Laskar Hizbullah Sabilillah, dan Laskar Mataram pmpinan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang siap sedia untuk bertempur apabila terjadi keadaan yang paling genting sekali pun.
Pada tanggal 29 Januari 1946 berdirinya partai politik berhaluan nasionalis yaitu PNI penggabungan dari Partai Rakyat Indonesia, Serikat Rakyat Indonesia, dan Gabungan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Sidik Djojosukarso. Menurut partai ini, kemandirian Nasional mutlak untuk mecapai Negara berdaulat.           

Penculikan Terhadap PM Syahrir
Tanggal 27 Juni 1946 terjadi peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir, karena ia dicap sebagai "pengkhianat yang menjual tanah airnya kepada musuh". Sjahrir diculik di Surakarta, ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia dibawa ke Paras, kota dekat Solo, di rumah peristirahatan seorang pangeran Solo dan ditahan di sana dengan pengawasan Komandan Batalyon setempat. Pada malam tanggal 28 Juni 1946, Ir Soekarno berpidato di radio Yogyakarta. Ia mengumumkan bahwa keadaan di dalam negeri saat itu sedang berbahaya, maka dari itu Soekarno dengan persetujuan kabinetnya mengambil alih semua kekuasaan pemerintah dan hal itu berlangsung selama sebulan lebih. Tanggal 3 Juli 1946, Sjahrir dibebaskan dari penculikan; namun baru tanggal 14 Agustus 1946, Sjahrir diminta kembali untuk membentuk kabinet dan resmi kembali menjadi perdana menteri pada tanggal 2 Oktober 1946.

Sumber :



PERUNDINGAN LINGGARJATI DAN PERUNDINGN RENVILLE


Disusun Oleh:
1.      Gerano Sukarno               (13)
2.      Hasan Hendratmoko        (14)
3.      Iqbal Farhan Hilmy          (15)
4.      Isniyatin Nur Yusrina      (16)
5.      Jihan Nurom Bidayah      (17)
6.      Malik Kamaludin Bazar   (18)
Kelas: XII IPS 2


PERUNDINGAN LINGGARJATI
Perjanjian Linggarjati didahului oleh perundingan di HogeVoluwe di Negeri Belanda yang dilaksanakan pada tanggal 14-25 April 1946, berdasarkan suatu rancangan yang disusun oleh Sjahrir, Perdana Mentri dalam Kabinet Sjahrir II.
Sebelumnya tanggal 10 Februari 1946, sewaktu Sjahrir menjabat Perdana Mentri dalam Kabinet Sjahrir I, Van Mook telah menyampaikan kepada Sjahrir rencana Belanda yang berisi pembentukan negara persemakmuran Indonesia, yang terdiri atas kesatuan kesatuan yang mempunyai otonomi dari berbagai tingkat negara persemakmuran menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Bentuk politik ini hanya berlaku untuk waktu terbatas, setelah itu peserta dalam kerajaan dapat menentukan apakah hubungannya akan dilanjutkan berdasarkan kerjasama  yang bersifat sukarela.
Sementara itu pemerintah Inggris mengangkat seseorang Diplomat tinggi Sir Archibald Clark Kerr (yang kemudian diberi gelar Lord Inverchapel), untuk bertindak sebagai ketua dalam perundingan Indonesia – Belanda.
Segera setelah terbentuknya Kabinet Sjahrir II, Sjahrir membuat usulan-usulan tandingan. Yang penting dalam usul itu ialah bahwa : (A) RI diakui sebagai negara berdaulat yang meliputi daerah bekas Hindia Belanda, dan (B) antara negeri Belanda dan RI dibentuk Federasi. Jelaslah behwa usul ini bertentangan dengan usul Van Mook. Setelah diadakan perundingan antara Van Mook dan Sjahrir dicapai kesepakatan :
a.       Rancangan perstujuan diberikan bentuk sebagai Perjanjian Indonesia Internasional dengan “Preambule”.
b.      Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de Facto Republik atas Pulau Jawa dan Sumatra.
Pada rapat  Pleno tanggal 30 Maret 1946 Van Mook menerangkan  bahwa rancangannya merupakan usahanya pribadi tanpa diberi kekuasaan oleh pemerintahnya . Maka diputuskan bahwa Van Mook akan pergi ke Negeri Belanda, dan cabinet mengirim satu delegasi ke Negeri Belanda yang terdiri atas Soewandi, Soedarsono dan Pringgodigdo. Perundingan diadakan tanggal 14-25 April 1946. Pada hari pertama perundingan sudah mencapai Deadlock, karena bentuk perjanjian Internasional (treaty) tidak dapat diterima oleh kabinet Belanda. Perjanjian Internasional akan berarti bahwa RI mempunyai kedudukan yang sama dengan Belanda didunia Internasional. Padahal Belanda tetap menganggap dirinya sebagai negara pemegang kedaulatan atas Indonesia. Perundingan di Hoge Voluwe merupakan kegagalan, akan tetapi pengalaman yang diperoleh dari perundingan Hoge Voluwe ternyata berguna dalam perjanjian Linggarjati.
Perundingan yang berlangsung di Hooge Voluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta Pihak Belanda tidak tersedia memberikan pengakuan de’facto kedaulatan RI atas Jawa dan Sumatera tetapi hanya jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul bagi pemerintahannya kepada pihak RI.
Dengan kegagalan perundingan Hoge Veluwe di negeri Belanda, maka di Jakarta dilakukan upaya untuk pendekatan kembali antara Van Mook dan Sutan Sjahrir. Pada tanggal 2 Mei 1946, Van Mook menyampaikan usulan bahwa pemerintah Belanda bersedia mengakui kekuasaan de facto Republik atas Jawa, Madura, dan Sumatra dengan dikurangi daerah-daerah yang telah diduduki tentara Inggris dan Belanda. Usulan ini dijawab oleh Sjahrir pada tanggal 17 Juni 1946 yang menyatakan bahwa:
a.       Republik Indonesia berkuasa de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra termasuk daerah-daerah yang masih dikuasai oleh tentara Inggris dan Belanda
b.      Pemerintah RI menolak ikatan kenegaraan persemakmuran dalam ikatan Kerajaan Belanda
c.       Pemerintah RI menolak suatu masa peralihan di bawah kedaulatan Pemerintah Belanda
d.      RI menghendaki pengiriman pasukan Inggris dan Belanda dihentikan
Pada saat itu, pemerintah RI memprotes tindakan kekerasan Belanda yang memblokade laut dan udara untuk melumpuhkan perekonomian dan hubungan luar negeri republik. Pengiriman bahan makanan antarpulau dan barter komoditi bahan strategis ke negara tetangga dengan menggunakan kapal laut, serta penerimaan bantuan obat-obatan dari luar negeri dan kedatangan tamu-tamu asing dicegat di tengah jalan. Masalah-masalah ini oleh pihak Indonesia diajukan dalam perundingan gencatan senjata.
Dalam keadaan demikian, pihak Inggris memprakarsai untuk diadakan perundingan yang mencakup baik masalah politik maupun militer. Perundingan pada tingkat militer diadakan mulai tanggal 20 – 30 September 1946 untuk mencapai kesepakatan tentang gencatan senjata antara Indonesia, Inggris, dan Belanda. Indonesia mengajukan beberapa syarat sebagai dasar gencatan perang dan bukan gencatan senjata, yaitu; gencatan perang untuk seluruh Indonesia, baik darat, laut, maupun udara, penghentian pemasukan tentara sekutu dan atau Belanda ke Indonesia selama gencatan perang, tidak ada penyerahan oleh sekutu kepada Belanda, baik secara langsung maupun tidak langsung, penyingkiran orang Jepang, baik militer maupun sipil dari seluruh Indonesia, pembukaan dan kebebasan memakai lalu lintas baik darat, laut, maupun udara. Namun, pihak sekutu Inggris dan Belanda menolak persyaratan yang diajukan pihak Indonesia karena masalahnya dianggap di luar lingkup militer. Yang disepakati hanyalah adanya “daerah tak bertuan” sepanjang 10 km di perbatasan pendudukan kedua pihak tanpa menyebut soal pemasukan tentara Belanda. Dengan demikian perundingan untuk mencapai gencatan senjata gagal.
Kegagalan perundingan pada tingkat militer akan ditebus dengan perundingan politik. Perundingan dibuka pada tanggal 7 Oktober 1946 untuk antara lain membicarakan masalah gencatan senjata lagi yang menghasilkan Komisi Gencatan Senjata berdasarkan atas status quo politik dan militer yang harus dipertahankan sampai tercapai penyelesaian pertikaian politik. Namun, meskipun persetujuan gencatan senjata telah tercapai antara Sjahrir dengan Lord Killearn dan Schermerhorn, pada kenyataannya di lapangan tembak-menembak tetap terjadi, bentrokan bersenjata masih sering timbul antarkedua belah pihak. Dengan tidak adanya jaminan keamanan, dirasa sulit untuk menyelenggarakan penyelesaian konflik politik. Hal inilah yang memperkuat pandangan Van Mook bahwa pemulihan keamanan dan ketertiban akan sulit bahkan tidak akan terwujud tanpa stabilitas militer Belanda. Tapi, pandangan ini oleh pihak RI ditolak. Pada awal November 1946, berkat jerih payah diplomasi kedua belah pihak, akhirnya dapat juga tercapai persetujuan untuk melanjutkan perundingan dengan memindahkan penyelenggaraan perundingan ke daerah Republik Indonesia agar memungkinkan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta bisa ikut serta dalam perundingan. Maka dipilihlah Linggarjati, sebuah tempat peristirahatan di lereng gunung Cermai, Cirebon, sebagai tempat perundingan.
Dalam prosesnya, Perundingan Linggarjati ini terjadi tawar-menawar di antara ke dua belah pihak tentang isi kesepakatan. Setelah melalui empat kali rapat, pihak delegasi Belanda dan Indonesia dapat menyimpulkan bahwa bahwa perundingan ini sudah berhasil mewujudkan suatu naskah persetujuan antara pihak Belanda dan Indonesia, sekalipun ada masalah-masalah yang perlu dirundingkan lebih lanjut. Maka, pada tanggal 15 November 1946 diadakan rapat yang dihadiri Indonesia dan Belanda dan yang bertindak sebagai pemimpin rapat adalah Soetan Sjahrir. Soetan Sjahrir mengajukan pembentukan badan banding atas pembicaraan di Linggarjati. Oleh Dr. Van Mook diusulkan untuk menambah pada pasal ini suatu ayat tentang adanya badan bersama yang akan bertugas untuk mewujudkan dan melaksanakan kerja sama antara pemerintah Belanda dan Indonesia di masa depan. Saran Van Mook disetujui rapat. Rumusan mengenai masalah tersebut akan dimuat sebagai pasal 17 dalam Perjanjian Linggarjati yang akan diparaf. Di samping itu, Mr. Roem mengajukan bahwa rumusan pasal 1 naskah Perjanjian Linggarjati yang telah disetujui tidak sesuai dengan apa yang disarankan oleh delegasi Indonesia, sehingga menyarankan untuk menyusun rumusan baru yang intinya pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de facto pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatra. Setelah melalui perdebatan seru, akhirnya Perjanjian Linggarjati itu diparaf oleh kedua belah pihak, kemudian ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, setelah diratifikasi parlemen masing-masing.
Dengan demikian berakhirlah sejarah panjang yang dimulai bulan Oktober 1946 dan diteruskan oleh Perundingan Linggarjati yang diparaf pada 15 November 1946, dan setelah 4 bulan terkatung-katung dengan melalui ketegangan-ketegangan pihak Indonesia-Belanda dengan resmi dapat dilaksanakan penandatanganandalam upacara meriah pada tanggal 25 Maret 1947.

PERUNDINGAN LINGGARJATI
Setelah intermeso yang disebabkan terjadinya kup di Yogya, yang menyebabkan cabinet Sjahrir II menyerahkan kekuasaannya kepada Presiden Soekarno, maka pada bulan Agusuts, Presiden menugaskan Sjahrir kembali untuk membentuk kebinet. Pada tanggal 2 Oktober 1946, Sjahrir berhasil membentuk kabinetnya. Kabinet Sjahrir II, yang diberi mandat untuk “berunding atas dasar merdeka 100 %”. Kabinet membentuk delegasi untuk berunding dengan pihak Belanda yang terdiri atas Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Moh Roem, A.K Gani, Leimena, Soesanto Tirtoprojo, Soedarsono.
Sementara ini Negeri Belanda pada bulan Juli terjadi pergantian cabinet. Perdana Menteri Schermerhorn (Partai Buruh) diganti oleh I.J.M Beel (Partai Rakyat Katolik). Untuk menyelesaikan persoalan Indonesia, diangkat suatu komisi dengan Undang Undang yang dinamakan Komisi Jenderal (Commisie Generaal) yang terdiri atas  Schermerhorn (mantan Menteri), Van Poll, De Boer dan F Sanders sebagai sekjennya, Komisi Jenderal diberi wewenang bertindak sebagai wakil khusus tertinggi dan tugas mempersiapkan pembentukan orde “politik baru di Hindia  - Belanda”
Pemerintah Inggris mengangkat Lord Killeam, wakil (Commisioner) khusus Inggris untuk Asia Tenggara, menggantikan Lord Inverchapel. Terlihat adanya keinginan untuk mencapai penyelesaian politik baik dari pihak Belanda maupun Inggris.
Pada tanggal 18 September Komisi Jenderal sampai di Jakarta. Pada tanggal 30 September Killeam mengadakan makan siang dengan Sjahrir, Schermerhorn dan Wright (Wakil Killeam). Setelah makan siang Schermerhorn dan Sjahrir berbicara sendiri. Dalam pembicaraan informal itu, Schermerhorn menguraikan secara garis besar tujuan Komisi Jenderal dan dibicarakan pula beberapa hal yang berkenaan dengan acara perundingan. Sjahrir mengemukakan pendapatnya bahwa sebaiknya delegasi Indonesia dipimpin oleh Dwi-Tunggal Soekarno_Hatta.
Ternyata saran ini pada prinsipnya disetujui oleh Schermerhorn. Hal ini merupakan perubahan besar dalam pandangan politik pemerintah Belanda. Dalam perundingan Hoge Veluwe, pemerintah Belanda menolak bentuk perjanjian Internasional, karena dalam Preambulenya dinyatakan : “… Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Presidennya, Ir Soekarno…” berdasarkan alasan bahwa Presiden Soekarno dianggap sebagai “Kolaborator Jepang”. Meskipun banyak orang Belanda tetap memandang Presiden Soekarno tetap seperti itu, tetapi ternyata Pemerintah Belanda melepaskan Pandangan yang salah itu. Dengan disetujui Soekarno-Hatta untuk ikut serta dalam perundingan, yang masih dipersoalkan oleh Schemerhorn hanya tempat berunding. Delegasi Belanda tidak dapat menerima Yogya, sedang Soekarno-Hatta tidak dapat menerima Jakarta sebagai tempat berunding.
Bagi pihak Indonesia, keikut sertaan Soekarno-Hatta dalam perundingan merupakan suatu keberhasilan. Dunia luar dengan demikian akan memandang Republik Indonesia sebagai negara (meskipun belum diakui de jure), karena telah memenuhi syarat, yakni wilayah tertentu, pemerintah yang nyata yang dipimpin oleh seorang kepala negara (Presiden), cabinet dengan perdana mentrinya, dan adanya perwakilan rakyat (KNIP), dan karena tercapainya persetujuan gancatan senjata (yang akan diuraikan dibawah ini), dan adanya tentara regular. Tidak lagi seperti yang digambarkan oleh Belanda sebagai suatu pemberontakan beberapa “ekstrimis” yang dipimpin oleh “kolabor Jepang”.
Soekarno-Hatta dan Sjahrir sejak kedatangan Belanda sudah sependapat, bahwa disatu pihak harus dicapai persutujuan melalui perundingan dengan Belanda dengan mencapai hasil sebesar mungkin, dipihak lain harus memperkuat wilayah-wilayah Indonesia yang kita kuasai secara fisik dan administrative dan menegakan kedudukan kita di dunia Internasional. Dalam rangka ini perlu dimanfaatkan kehadiran tentara Inggris yang berdasarkan kebijakan Pemerintah Inggris tidak bermaksud menegakkan kembali Pemerintah Belanda. Oleh karenanya, Soekarno-Hatta sejak semula bersedia ikut dalam perundingan dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
Sementara itu pada akhir bulan Desember 1945 keadaan Jakarta menjadi sangat berbahaya untuk Soekarno-Hatta, karena serdadu-serdadu KNIL yang tidak disiplin dan teratur mendarat di Tanjung Priok, sehingga demi keamanan Presiden dan Wakil Presiden dipustuskan untuk berhijrah ke Yogyakarta. Tempat tersebut adalah tempat terbaik untuk mengkonsolidasikan kekuatan Republik Indonesia, sementara Sjahrir ditugaskan untuk mengadakan hubungan dengan dunia luar dan berunding dengan Belanda.
Maka dari itu ketika Presiden menerima kabar dari Sjahrir yang dibawa oleh Sudarpo sebagai kurir mengenai persetujuan pihak Belanda atas keikut sertaan Presiden dan Wakil Presiden dalam perundingan, Presiden dan Wakil Presiden segera menyatakan kesediaannya dengan syarat perundingan tidak diadakan di Jakarta.
Pendapat Soekarno-Hatta atas perlunya mereka dalam perundingan diperkuat oleh kunjungan Lord Killearn ke Yogya tanggal 29 Agustus untuk menemui Hatta, Sjahrir dan para Menteri. Inilah untuk pertama kali pejabat tertinggi Inggris berkunjung ke Yogya. Presiden tidak ditemui karena sakit. Lord Killearn dalam kunjungannya ini menerangkan kedudukannya sebagai penengah antara pihak Indonesia dan pihak Belanda dan bahwa tentara Inggris akan meninggalkan Indonesia pada tanggal 30 November 1946.
Yang perlu diputuskan hanya tinggal tempat perundingan. Atas saran Ibu Maria Ulfah, menteri sosial yang berasal dari Kuningan dan mengatahui keadaan sekitarnya, kepada Sjahrir dipilih Linggajati, suatu tempat peristirahatan dekat Kuningan yang iklimnya nyaman serta tidak jauh dari Jakarta dan terletak di daerah RI. Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya tinggal di Kuningan.
Dengan pertimbangan kedudukan Soekarno-Hatta, setelah dirundingkan mereka berdua sebaiknya tidak memimpin delegasi, mengingat kedudukannya sebagai Pemimpin Negara. Dengan kehadiran mereka dekat dengan tempat perundingan, mereka dapat mengikutinya jalannya perundingan dan mengambil keputusan akhir.
Akhitnya Perundingan Linggarjati berlangsung pada tanggal 10-15 November 1946 di Linggarjati, Kuningan, Cirebon.
Dalam perundingan ini delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir dan Dr. A.K. Gini, sedangkan pihak Belanda dipimpin Prof. Schermerhorn dengan anggota Dr. Van Mook, F. De Boer, dan Van Poll. Sebagai penengah adalah Lord Killearn dari Inggris, adapun pokok-pokok Perundingan Linggarjati itu adalah sebagai berikut.
a.       Belanda mengakui secara de facto wilayah RI atas Sumatera,  Jawa, dan Madura. Belanda haus meninggalkan daerah-darerah yang diakui secara de facto milik RI paling lambat tanggal 1 januari 1949.
b.      RI dan Belanda akan bekerja sama membentuk Negara Indonsia Serikat (NIS) dengan nama RIS dan RI menjadi salah satu bagian RIS.
c.       RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai Ketua Uni.
Isi kesepakatan Perundingan Linggarjai itu kemudian secara resmi ditandatangani pada tanggal 25 maret 1947 di Istan Rijswijk (sekarang Istana Merdeka Jakarta),
Dengan ditandatanagani Perundingan Linggarjati itu, kedudukan Belanda di Indonesia bertambah kuat. Belanda merasa mendapat peluang untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Bagi Indonesia sekalipun dirugikan, tetapi tidak putus asa. Perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan terus dilakukan.
Tujuan Pimpinan Republik dan delegasi dengan menjalankan perundingan dan apakah tujuannya tercapai.
Sejak awal Hoge Veluwe terdapat 2 tujuan utama, yaitu : (1) berusaha agar Republik Indonesia diakui oleh sebanyak mungkin negara didunia, sehingga perjuangan bangsa kita tidak lagi dianggap sebagai “gerakan Nasional” dalam suatu negara Jajahan, tetapi sebagai negara yang berdaulat penuh, (2) mempertahankan kekuatan fisik yang telah dibangun.
Pemimpin-pemimpin sadar sepenuhnya bahwa tujuan pertama itu tidak dapat dicapai sekaligus. Tetapi Republik Indonesia, betapapun terbatas wilayahnya, dapat menjadi batu lompatan untuk mencapai tujuan terakhir, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah Hindia-Belanda.
Sehubungan dengan tujuan ke2, perlu saya kemukakan bahwa suatu perundingan harus dilakukan atas dasar kekuatan-kekuatan Pemerintah Republik dan Delegasinya dalam perundingan ialah rakyat kita yang dengan tegas menolak untuk dijajah kembali. Tentara merupakan ujung tombak perjuangan rakyat kita. Pendapat yang dianut oleh banyak peneliti politik asing bahwa Pemerintah/Delegasi dan tentara merupakan 2 kekuatan yang berdiri sendiri pada dasarnya adalah salah. Delegasi telah membuktikan bahwa dalam perundingan mereka dapat mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut bidang Militer (misalnya keputusan mengadakan gencatan senjata 14 Oktober 1946 dan hijrah satuan-satuan TNI yang diputuskan dalam rangka (Perjanjian Renville). Akan tetapi ketentuan yang melemahkan atau mengakibatkan penghapusan tentara kita ditolak karena ketentuan demikian melemahkan pemerintah sendiri.
Dengan adanya Font Militer yang jauhnya beratus-ratus kilometer maka kontak senjata dan tindakan permusuhan lainnya antara Belanda dan TNI/Laskar Rakyat tidak dapat dielakkan, kecuali jika ada perintah dari pimpinan tentara dari kedua belah pihak, berdasarkan suatu persetujuan gencatan senjata diadakan pada tanggal 7 Oktober itu ditandatangani pada tanggal 14 Oktober 1946.

PERUNDINGAN POLITIK
Perundingan politik dimulai di Jakarta, tempatnya bergantian antara Istana Rijswijk (sekarang Istana Negara) tempat penginapan anggota Komisi Jenderal dengan tempat kediaman resmi Sjahrir dipimpin oleh Schermerhorn, sedangkan perundingan di Istana Rijswijk dipimpin oleh Sjahrir.
Sebagai dasar perundingan dipakai rancangan persetujuan yang merupakan kombinasi rancangan Delegasi Indonesia dan Delegasi Belanda. Perundingan di Jakarta diadakan 4 kali dengan yang terakhir tanggal 5 November. Delegasi Republik Indonesia kemudian menuju ke Yogya untuk memberi laporan kepada Presiden, Wakil Presiden dan kabinet  dan setelah itu berangkat ke Linggajati.
Lord Killearn datang pada tanggal 10 November dengan menumpang kapal perang Inggris HMS “Verayan Bay”. Beliau diangkut dengan perahu motor ALRI ke Cirebon, diantar dengan mobil ke Linggarjati dan ditempatkan dirumah yang terletak dekat rumah penginapan Sjahrir.
           Angkatan Laut Belanda telah mempersiapkan kapal perang HM “Banckert” untuk dipakai sebagai tempat penginapan Delegasi Belanda. Menjelang kedatangan Delegasi Belanda, “Banckert” telah buang jangkar diluar pelabuhan Cirebon. Pada tanggal 11 November Delegasi Belandang datang dengan kapal terbang “Catalina” dan dibawa ke “Banckert”. Seperti apa yang dilakukan satu hari sebelumnya perahu motor ALRI datang untuk menjemput Delegasi Belanda, komandan “Banckert” menolak dan minta Delegasi diangkut dengan perahu patroli “Banckert”. Hal ini ditolak oleh komandan perahu motor ALRI. Akhirnya persoalan ini dipecahkan dengan perkenankannya Delegasi Belanda diangkut perahu patroli “Banckert”, tetapi dikawal oleh perahu motor ALRI.

PERUNDINGAN PERTAMA
Karena “insiden  Banckert” Delegasi Belanda baru sampai di Linggajati pukul 11.00 dan karena harus kembali ke “Banckert” jam setengah lima sore, maka perundingan hari itu hanya singkat saja, yakni 3 setengah jam. Schermerhorn memutuskan tinggal di Linggajati karena berpendapat akan menimbulkan kesan kurang baik pada kalangan Indonesia jika ia kembali ke “Banckert”. Kecuali itu ia berpendapat bahwa ia harus memenuhi undangan Presiden untuk makan malam bersama. Ia dapat bertukar pikiran dengan Presiden dan menikmati pertunjukan kesenian angklung.

PERUNDINGAN KEDUA
Sementara itu, Delegasi Indonesia pagi-pagi berkumpul ditempat kediaman Sjahrir untuk mempersiapkan perundingan hari itu. Pasal-pasal rancangan persetujuan dibahas dan direncanakan alasan-alasan yang akan diusulkan. Perundingan hari itu berjalan sangat alot dan berlangsung hampir 9 jam. Dua soal tidak dapat dicapai kesepakatan, yakni soal perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dan soal kedaulatan Negara Indonesia Serikat. Dalam soal Pertama, terutama Sjahrir, mendesak supaya Belanda menerima usul bahwa Republik Indonesia mempunyai wakil-wakilnya sendiri diluar negeri. Ia berusaha meyakinkan pihak Belanda bahwa perwakilan ini terkait pada diakuinya Republik defacto, yang sudah disetujui oleh pihak Belanda.
Malam itu atas undangan Presiden, Delegasi Belanda berkunjung pada Presiden di Kuningan. Dalam kesempatan itu hadir Wakil Presiden AK Gani dan Amir Sjarifudin. Sjahrir tidak hadir karena sangat lelah dan karena mengira kunjungan Belanda hanya merupakan kunjungan kehormatan.
Atas pertanyaan Presiden jalannya perundingan, Van Mook menjelaskan bahwa tercapai kesepakatan mengenai satu soal saja yakni usul Delegasi Indonesia untuk mengubah kata “merdeka” dibelakang kata “berdaulat” artinya, yang diusulkan oleh Delegasi Indonesia adalah agar NIS akan menjadi negara berdaulat. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa selama perundingan Delegasi Belanda berkeberatan atas perubahan itu, tetapi setelah dibicarakan antara mereka sendiri, mereka akhirnya dapat menyetujui usul pihak Indonesia.
            Van Mook tidak mengutarakan bahwa masih ada soal lain yang belum dipecahkan, yakni perwakilan Republik Indonesia diluar negri. Tetapi ia kemudian segera menanyakan kepada Presiden apakah dengan diterimanya oleh pihak Belanda perubahan “merdeka” menjadi “berdaulat” Presiden dapat menyetujui Rancangan Perjanjian seluruhnya. Atas pernyataan itu Presiden menjawab dengan nada antusias bahwa ia dapat menyetujuinya.
            AK Gani dan Amir Sjarifudin segera melaporkan kepada Sjahrir sangat menyesalkan bahwa presiden sudah menyetujui Rancangan Perjanjian Linggarjati, padahal soal perwakilan Republik di luar negeri belum diputuskan. Tetapi Sjahrir tunduk pada keputusan Presiden. Maka waktu Schermerhorn datang dan mengusulkan untuk diadakan rapat pleno dan diketuai Killearn, Sjahrir pun menyetujuinya rapat pleno diadakan pada pukul 10.30 malam dengan Killear sebagai ketua rapat yang menyatakan kegembiraannya atas tercapainya kesepakatan kedua Delegasi.
            Hari berikutnya tanggal 13 November, diadakan rapat antara kedua Delegasi. Sebelumnya Sjahrir telah bertemu dengan Presiden Soekarno yang tampak santai. Ia hanya mengusulkan agar dimasukan dalam rancangan perjanjian satu pasal yakni pasal mengenai arbitrase, yang diterima oleh Schermerhorn. Dengan dimasukannya pasal arbitrase terbukti pada dunia luar bahwa Republik Indonesia dan Negara Belanda sederajat. Komisi Jenderal kemudian berangkat ke Jakarta.
            Pada tanggal 15 November diadakan rapat kedua Delegasi di Istana Rijswijk. Dalam rapat itu dimasukan pasal 17 mengenai arbitrase. Sorenya naskah dalam bahasa Belanda diparaf di rumah Sjahrir dan pada tanggal 18 diparaf naskah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

PRO DAN KONTRA DI KALANGAN MASYARAKAT INDONESIA
Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai MasyumiPNIPartai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan Linggarjati.

PELANGGARAN PERJANJIAN
Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli1947Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.





PERUNDINGAN RENVILLE

USS RENVILLE
AGRESI MILITER I
Pada tanggal 27 Mei 1947Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
a.       Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
b.      Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
c.       Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda;
d.      Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan
e.       Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus "mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada tanggal 20 Juli1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisionil' mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahriradalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepadaSoekarno dan Amir Syarifudindia menolak kursi menteri karena "ia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda. Di samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Syarifudin yang kekiri-kirian. Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa Amir Syarifudin ingin membawa politik Indonesia ke arah Komunis.

PERUNDINGAN RENVILLE
Atas usulan KTN pada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 dilaksanakan perundingan antara Indonesia dan Belanada di atas kapal Renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh. Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran Kartanagara dan Zulkarnain. Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasala dari bangsa Indonesia sendiri yang pro Belanda. Dengan demikian Belanda tetap melakukan politik adu domba agar Indonesia mudah dikuasainya.
Tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggarjati, karena plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi yang direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia Serikat.
            Setelah selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948 maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville. Pokok-poko isi perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut :
a.       Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia samapi kedaulatan Indonesia diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk.
b.      Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam uni Indonesia-Belanda.
c.       Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS.
d.      Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagain kekuasaannya kepada pemerintahan federal sementara.
e.       Pasukan republic Indonesia yang berda di derah kantong haruns ditarik ke daerah Republik Indonesia. Daerah kantong adalah daerah yang berada di belakang Garis Van Mook, yakni garis yang menghubungkan dua derah terdepan yang diduduki Belanda.
Perjanjian Renville ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. adapun kerugian yang diderita Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville adalah sebagai berikut :
a.      Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat melalaui masa peralihan.
b.     Indonesia kehilangan sebagaian daerah kekuasaannya karena grais Van Mook terpaksa harus diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda.
c.      Pihak republik Indonesia harus menarik seluruh pasukanya yang berda di derah kekuasaan Belanda dan kantong-kantong gerilya masuk ke daerah republic Indonesia.
Penandatanganan naskah perjanjian Renville menimbulkan akibat buruk bagi pemerinthan republik Indonesia, antra lain sebagai berikut:
a.       Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikururung oleh daerah-daerah kekuasaan belanda.
b.      Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin republic Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya cabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara kepada Belanda.
c.       Perekonomian Indonesia diblokade secara ketata oleh Belanda.
d.      Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militernya dari daerah-daerah gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang berdekatan.
e.       Dalam usaha memecah belah Negara kesatuan republic Indonesia, Belanda membentuk negara-negara boneka, seperti; negara Borneo Barat, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara jawa Timut. Negara boneka tersebut tergabung dalam BFO (Bijeenkomstvoor Federal Overslag).
Pada tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati : hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten tetap daerah Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda menjelaskan mengapa persetujuan itu ditandatangani agar Belanda tidak "menimbulkan rasa benci Amerika".
Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama dan sesudah perundingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan Linggarjati, melalui perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama, jantung Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan Seperti sesudah persetujuan Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari pusat kembali diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir, kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap langsung bertanggung jawab jika sesuatu salah atau dianggap salah.

RUNTUHNYA KABINET AMIR DAN NAIKNYA HATTA SEBAGAI PERDANA MENTERI
Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang tergabung dalamkabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang PNIMasyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikutAmir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang Sjahrir, enam bulan lebih dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya oleh Masyumi dan kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi keinginan pihak asing. Hanya empat hari sesudah Perjanjian Renville ditandatangani, pada tanggal23 Januari 1948Amir Syarifudin dan seluruh kabinetnya berhenti. Kabinet barudibentuk dan susunannya diumumkan tanggal 29 Januari 1948Hatta menjadiPerdana Menteri sekaligus tetap memangku jabatan sebagai Wakil Presiden.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan keluar bagi Amir dibanding dengan Sjahrirsesudah Perundingan Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan. Beberapa hari sesudah Amir berhenti, di awal Februari 1948, Hatta membawa Amir dan beberapa pejabat Republik lainnya mengelilingi ProvinsiAmir diharapkan menjelaskanPerjanjian Renville. Pada rapat raksasa di BukittinggiSumatra Barat, di kota kelahiran Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti terpenting selama perjalanan- Hatta berbicara tentang kegigihan Republik, dan pidatonya disambut dengan hangat sekali.
Kemudian Amir naik mimbar, dan seperti diuraikan Hatta kemudian: "Dia tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa ayang harus dikatakannya. Dia merasa bahwa orang rakyat Bukittinggi tidak menyenanginya, khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika dia meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "Wajah Amir kelihatannya seperti orang yang sudah tidak berarti". Sjahrir juga diundang ke rapat Bukittinggi ini; dia datang dariSingapura dan berpidato. Menurut Leon Salim -kader lama Sjahrir- "Sjahrir juga kelihatan capai dan jarang tersenyum". Menurut kata-kata saksi lain, "Seolah-olah ada yang membeku dalam wajah Sjahrir" dan ketika gilirannya berbicara "Dia hanya mengangkat tangannya dengan memberi salam Merdeka dan mundur". Hatta kemudian juga menulis dengan singkat tentang pidato Sjahrir: "Pidatonya pendek". Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi bara dendam yang menyulut Amir untuk memberontak di kemudian hari.
Perjanjian Renville tidak lebih baik daripada perundingan di Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian, dan Indonesiamenuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan senjata yang berulang-ulang.