PERUNDINGAN
LINGGARJATI DAN PERUNDINGN RENVILLE
Disusun Oleh:
1.
Gerano Sukarno (13)
2.
Hasan Hendratmoko (14)
3.
Iqbal Farhan Hilmy (15)
4.
Isniyatin Nur Yusrina (16)
5.
Jihan Nurom Bidayah (17)
6.
Malik Kamaludin Bazar (18)
Kelas: XII IPS 2
PERUNDINGAN LINGGARJATI
Perjanjian Linggarjati didahului
oleh perundingan di HogeVoluwe di Negeri Belanda yang dilaksanakan pada tanggal
14-25 April 1946, berdasarkan suatu rancangan yang disusun oleh Sjahrir,
Perdana Mentri dalam Kabinet Sjahrir II.
Sebelumnya tanggal 10 Februari
1946, sewaktu Sjahrir menjabat Perdana Mentri dalam Kabinet Sjahrir I, Van Mook
telah menyampaikan kepada Sjahrir rencana Belanda yang berisi pembentukan
negara persemakmuran Indonesia, yang terdiri atas kesatuan kesatuan yang
mempunyai otonomi dari berbagai tingkat negara persemakmuran menjadi bagian
dari Kerajaan Belanda. Bentuk politik ini hanya berlaku untuk waktu terbatas,
setelah itu peserta dalam kerajaan dapat menentukan apakah hubungannya akan
dilanjutkan berdasarkan kerjasama yang bersifat sukarela.
Sementara itu pemerintah Inggris
mengangkat seseorang Diplomat tinggi Sir Archibald Clark Kerr (yang kemudian
diberi gelar Lord Inverchapel), untuk bertindak sebagai ketua dalam perundingan
Indonesia – Belanda.
Segera setelah terbentuknya Kabinet Sjahrir II,
Sjahrir membuat usulan-usulan tandingan. Yang penting dalam usul itu ialah
bahwa : (A) RI diakui sebagai negara berdaulat yang meliputi daerah bekas
Hindia Belanda, dan (B) antara negeri Belanda dan RI dibentuk Federasi.
Jelaslah behwa usul ini bertentangan dengan usul Van Mook. Setelah diadakan
perundingan antara Van Mook dan Sjahrir dicapai kesepakatan :
a.
Rancangan perstujuan diberikan bentuk
sebagai Perjanjian Indonesia Internasional dengan “Preambule”.
b.
Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de Facto
Republik atas Pulau Jawa dan Sumatra.
Pada rapat Pleno tanggal 30
Maret 1946 Van Mook menerangkan bahwa rancangannya merupakan usahanya
pribadi tanpa diberi kekuasaan oleh pemerintahnya . Maka diputuskan bahwa Van
Mook akan pergi ke Negeri Belanda, dan cabinet mengirim satu delegasi ke Negeri
Belanda yang terdiri atas Soewandi, Soedarsono dan Pringgodigdo. Perundingan
diadakan tanggal 14-25 April 1946. Pada hari pertama perundingan sudah mencapai
Deadlock, karena bentuk perjanjian Internasional (treaty) tidak dapat diterima
oleh kabinet Belanda. Perjanjian Internasional akan berarti bahwa RI mempunyai
kedudukan yang sama dengan Belanda didunia Internasional. Padahal Belanda tetap
menganggap dirinya sebagai negara pemegang kedaulatan atas Indonesia. Perundingan
di Hoge Voluwe merupakan kegagalan, akan tetapi pengalaman yang diperoleh dari
perundingan Hoge Voluwe ternyata berguna dalam perjanjian Linggarjati.
Perundingan yang berlangsung di
Hooge Voluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak konsep hasil
pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta Pihak Belanda tidak tersedia
memberikan pengakuan de’facto kedaulatan RI atas Jawa dan Sumatera tetapi hanya
jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang diduduki oleh Pasukan
Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan Indonesia-Belanda
terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul bagi
pemerintahannya kepada pihak RI.
Dengan kegagalan perundingan Hoge
Veluwe di negeri Belanda, maka di Jakarta dilakukan upaya untuk pendekatan
kembali antara Van Mook dan Sutan Sjahrir. Pada tanggal 2 Mei 1946, Van Mook
menyampaikan usulan bahwa pemerintah Belanda bersedia mengakui
kekuasaan de facto Republik atas Jawa, Madura, dan Sumatra dengan
dikurangi daerah-daerah yang telah diduduki tentara Inggris dan Belanda. Usulan
ini dijawab oleh Sjahrir pada tanggal 17 Juni 1946 yang menyatakan bahwa:
a.
Republik Indonesia berkuasa de
facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra termasuk daerah-daerah yang masih
dikuasai oleh tentara Inggris dan Belanda
b.
Pemerintah RI menolak ikatan kenegaraan
persemakmuran dalam ikatan Kerajaan Belanda
c.
Pemerintah RI menolak suatu masa peralihan
di bawah kedaulatan Pemerintah Belanda
d.
RI menghendaki pengiriman pasukan Inggris
dan Belanda dihentikan
Pada saat itu, pemerintah RI
memprotes tindakan kekerasan Belanda yang memblokade laut dan udara untuk
melumpuhkan perekonomian dan hubungan luar negeri republik. Pengiriman bahan
makanan antarpulau dan barter komoditi bahan strategis ke negara tetangga
dengan menggunakan kapal laut, serta penerimaan bantuan obat-obatan dari luar
negeri dan kedatangan tamu-tamu asing dicegat di tengah jalan. Masalah-masalah
ini oleh pihak Indonesia diajukan dalam perundingan gencatan senjata.
Dalam keadaan demikian, pihak
Inggris memprakarsai untuk diadakan perundingan yang mencakup baik masalah
politik maupun militer. Perundingan pada tingkat militer diadakan mulai tanggal
20 – 30 September 1946 untuk mencapai kesepakatan tentang gencatan senjata
antara Indonesia, Inggris, dan Belanda. Indonesia mengajukan
beberapa syarat sebagai dasar gencatan perang dan bukan gencatan senjata,
yaitu; gencatan perang untuk seluruh Indonesia, baik darat, laut, maupun udara,
penghentian pemasukan tentara sekutu dan atau Belanda ke Indonesia selama
gencatan perang, tidak ada penyerahan oleh sekutu kepada Belanda, baik secara
langsung maupun tidak langsung, penyingkiran orang Jepang, baik militer maupun
sipil dari seluruh Indonesia, pembukaan dan kebebasan memakai lalu lintas baik
darat, laut, maupun udara. Namun, pihak sekutu Inggris dan Belanda menolak
persyaratan yang diajukan pihak Indonesia karena masalahnya dianggap di luar
lingkup militer. Yang disepakati hanyalah adanya “daerah tak bertuan” sepanjang
10 km di perbatasan pendudukan kedua pihak tanpa menyebut soal pemasukan
tentara Belanda. Dengan demikian perundingan untuk mencapai gencatan senjata
gagal.
Kegagalan perundingan pada tingkat
militer akan ditebus dengan perundingan politik.
Perundingan dibuka pada tanggal 7 Oktober 1946 untuk antara lain membicarakan
masalah gencatan senjata lagi yang menghasilkan Komisi Gencatan Senjata
berdasarkan atas status quo politik dan militer yang harus dipertahankan sampai
tercapai penyelesaian pertikaian politik. Namun, meskipun persetujuan gencatan
senjata telah tercapai antara Sjahrir dengan Lord Killearn dan Schermerhorn,
pada kenyataannya di lapangan tembak-menembak tetap terjadi, bentrokan
bersenjata masih sering timbul antarkedua belah pihak. Dengan tidak adanya
jaminan keamanan, dirasa sulit untuk menyelenggarakan penyelesaian konflik
politik. Hal inilah yang memperkuat pandangan Van Mook bahwa pemulihan keamanan
dan ketertiban akan sulit bahkan tidak akan terwujud tanpa stabilitas militer
Belanda. Tapi, pandangan ini oleh pihak RI ditolak. Pada awal November 1946, berkat
jerih payah diplomasi kedua belah pihak, akhirnya dapat juga tercapai
persetujuan untuk melanjutkan perundingan dengan memindahkan penyelenggaraan
perundingan ke daerah Republik Indonesia agar memungkinkan Presiden Soekarno
dan Wakil Presiden Moh. Hatta bisa ikut serta dalam perundingan. Maka dipilihlah Linggarjati, sebuah tempat
peristirahatan di lereng gunung Cermai, Cirebon, sebagai tempat perundingan.
Dalam prosesnya, Perundingan
Linggarjati ini terjadi tawar-menawar di antara ke dua belah pihak tentang isi
kesepakatan. Setelah melalui empat kali rapat, pihak delegasi Belanda dan
Indonesia dapat menyimpulkan bahwa bahwa perundingan ini sudah berhasil
mewujudkan suatu naskah persetujuan antara pihak Belanda dan Indonesia,
sekalipun ada masalah-masalah yang perlu dirundingkan lebih lanjut. Maka, pada
tanggal 15 November 1946 diadakan rapat yang dihadiri Indonesia dan Belanda dan
yang bertindak sebagai pemimpin rapat adalah Soetan Sjahrir. Soetan Sjahrir
mengajukan pembentukan badan banding atas pembicaraan di Linggarjati. Oleh Dr.
Van Mook diusulkan untuk menambah pada pasal ini suatu ayat tentang adanya
badan bersama yang akan bertugas untuk mewujudkan dan melaksanakan kerja sama
antara pemerintah Belanda dan Indonesia di masa depan. Saran Van Mook disetujui
rapat. Rumusan mengenai masalah tersebut akan dimuat sebagai pasal 17 dalam
Perjanjian Linggarjati yang akan diparaf. Di samping itu, Mr. Roem mengajukan
bahwa rumusan pasal 1 naskah Perjanjian Linggarjati yang telah disetujui tidak
sesuai dengan apa yang disarankan oleh delegasi Indonesia, sehingga menyarankan
untuk menyusun rumusan baru yang intinya pemerintah Belanda mengakui
kekuasaan de facto pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura,
dan Sumatra. Setelah melalui perdebatan seru,
akhirnya Perjanjian Linggarjati itu diparaf oleh kedua belah pihak, kemudian
ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, setelah diratifikasi parlemen
masing-masing.
Dengan demikian berakhirlah sejarah
panjang yang dimulai bulan Oktober 1946 dan diteruskan oleh Perundingan
Linggarjati yang diparaf pada 15 November 1946, dan setelah 4 bulan
terkatung-katung dengan melalui ketegangan-ketegangan pihak Indonesia-Belanda
dengan resmi dapat dilaksanakan penandatanganandalam upacara meriah pada
tanggal 25 Maret 1947.
PERUNDINGAN LINGGARJATI
Setelah intermeso yang disebabkan
terjadinya kup di Yogya, yang menyebabkan cabinet Sjahrir II menyerahkan
kekuasaannya kepada Presiden Soekarno, maka pada bulan Agusuts, Presiden
menugaskan Sjahrir kembali untuk membentuk kebinet. Pada tanggal 2 Oktober
1946, Sjahrir berhasil membentuk kabinetnya. Kabinet Sjahrir II, yang diberi
mandat untuk “berunding atas dasar merdeka 100 %”. Kabinet membentuk delegasi
untuk berunding dengan pihak Belanda yang terdiri atas Sjahrir, Amir
Sjarifuddin, Moh Roem, A.K Gani, Leimena, Soesanto Tirtoprojo, Soedarsono.
Sementara ini Negeri Belanda pada
bulan Juli terjadi pergantian cabinet. Perdana Menteri Schermerhorn (Partai
Buruh) diganti oleh I.J.M Beel (Partai Rakyat Katolik). Untuk menyelesaikan
persoalan Indonesia, diangkat suatu komisi dengan Undang Undang yang dinamakan
Komisi Jenderal (Commisie Generaal) yang terdiri atas Schermerhorn
(mantan Menteri), Van Poll, De Boer dan F Sanders sebagai sekjennya, Komisi
Jenderal diberi wewenang bertindak sebagai wakil khusus tertinggi dan tugas
mempersiapkan pembentukan orde “politik baru di Hindia - Belanda”
Pemerintah Inggris mengangkat Lord
Killeam, wakil (Commisioner) khusus Inggris untuk Asia Tenggara, menggantikan
Lord Inverchapel. Terlihat adanya keinginan untuk mencapai penyelesaian politik
baik dari pihak Belanda maupun Inggris.
Pada tanggal 18 September Komisi
Jenderal sampai di Jakarta. Pada tanggal 30 September Killeam mengadakan makan
siang dengan Sjahrir, Schermerhorn dan Wright (Wakil Killeam). Setelah makan
siang Schermerhorn dan Sjahrir berbicara sendiri. Dalam pembicaraan informal
itu, Schermerhorn menguraikan secara garis besar tujuan Komisi Jenderal dan
dibicarakan pula beberapa hal yang berkenaan dengan acara perundingan. Sjahrir
mengemukakan pendapatnya bahwa sebaiknya delegasi Indonesia dipimpin oleh
Dwi-Tunggal Soekarno_Hatta.
Ternyata saran ini pada prinsipnya
disetujui oleh Schermerhorn. Hal ini merupakan perubahan besar dalam pandangan
politik pemerintah Belanda. Dalam perundingan Hoge Veluwe, pemerintah Belanda
menolak bentuk perjanjian Internasional, karena dalam Preambulenya dinyatakan :
“… Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Presidennya, Ir Soekarno…”
berdasarkan alasan bahwa Presiden Soekarno dianggap sebagai “Kolaborator Jepang”.
Meskipun banyak orang Belanda tetap memandang Presiden Soekarno tetap seperti
itu, tetapi ternyata Pemerintah Belanda melepaskan Pandangan yang salah itu.
Dengan disetujui Soekarno-Hatta untuk ikut serta dalam perundingan, yang masih
dipersoalkan oleh Schemerhorn hanya tempat berunding. Delegasi Belanda tidak
dapat menerima Yogya, sedang Soekarno-Hatta tidak dapat menerima Jakarta
sebagai tempat berunding.
Bagi pihak Indonesia, keikut
sertaan Soekarno-Hatta dalam perundingan merupakan suatu keberhasilan. Dunia
luar dengan demikian akan memandang Republik Indonesia sebagai negara (meskipun
belum diakui de jure), karena telah memenuhi syarat, yakni wilayah tertentu,
pemerintah yang nyata yang dipimpin oleh seorang kepala negara (Presiden),
cabinet dengan perdana mentrinya, dan adanya perwakilan rakyat (KNIP), dan
karena tercapainya persetujuan gancatan senjata (yang akan diuraikan dibawah
ini), dan adanya tentara regular. Tidak lagi seperti yang digambarkan oleh
Belanda sebagai suatu pemberontakan beberapa “ekstrimis” yang dipimpin oleh
“kolabor Jepang”.
Soekarno-Hatta dan Sjahrir sejak
kedatangan Belanda sudah sependapat, bahwa disatu pihak harus dicapai
persutujuan melalui perundingan dengan Belanda dengan mencapai hasil sebesar
mungkin, dipihak lain harus memperkuat wilayah-wilayah Indonesia yang kita
kuasai secara fisik dan administrative dan menegakan kedudukan kita di dunia
Internasional. Dalam rangka ini perlu dimanfaatkan kehadiran tentara Inggris
yang berdasarkan kebijakan Pemerintah Inggris tidak bermaksud menegakkan
kembali Pemerintah Belanda. Oleh karenanya, Soekarno-Hatta sejak semula
bersedia ikut dalam perundingan dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
Sementara itu pada akhir bulan
Desember 1945 keadaan Jakarta menjadi sangat berbahaya untuk Soekarno-Hatta,
karena serdadu-serdadu KNIL yang tidak disiplin dan teratur mendarat di Tanjung
Priok, sehingga demi keamanan Presiden dan Wakil Presiden dipustuskan untuk
berhijrah ke Yogyakarta. Tempat tersebut adalah tempat terbaik untuk
mengkonsolidasikan kekuatan Republik Indonesia, sementara Sjahrir ditugaskan
untuk mengadakan hubungan dengan dunia luar dan berunding dengan Belanda.
Maka dari itu ketika Presiden
menerima kabar dari Sjahrir yang dibawa oleh Sudarpo sebagai kurir mengenai
persetujuan pihak Belanda atas keikut sertaan Presiden dan Wakil Presiden dalam
perundingan, Presiden dan Wakil Presiden segera menyatakan kesediaannya dengan
syarat perundingan tidak diadakan di Jakarta.
Pendapat Soekarno-Hatta atas
perlunya mereka dalam perundingan diperkuat oleh kunjungan Lord Killearn ke
Yogya tanggal 29 Agustus untuk menemui Hatta, Sjahrir dan para Menteri. Inilah
untuk pertama kali pejabat tertinggi Inggris berkunjung ke Yogya. Presiden
tidak ditemui karena sakit. Lord Killearn dalam kunjungannya ini menerangkan
kedudukannya sebagai penengah antara pihak Indonesia dan pihak Belanda dan
bahwa tentara Inggris akan meninggalkan Indonesia pada tanggal 30 November
1946.
Yang perlu diputuskan hanya tinggal
tempat perundingan. Atas saran Ibu Maria Ulfah, menteri sosial yang berasal
dari Kuningan dan mengatahui keadaan sekitarnya, kepada Sjahrir dipilih
Linggajati, suatu tempat peristirahatan dekat Kuningan yang iklimnya nyaman
serta tidak jauh dari Jakarta dan terletak di daerah RI. Presiden dan Wakil Presiden
sebaiknya tinggal di Kuningan.
Dengan pertimbangan kedudukan
Soekarno-Hatta, setelah dirundingkan mereka berdua sebaiknya tidak memimpin
delegasi, mengingat kedudukannya sebagai Pemimpin Negara. Dengan kehadiran
mereka dekat dengan tempat perundingan, mereka dapat mengikutinya jalannya
perundingan dan mengambil keputusan akhir.
Akhitnya Perundingan Linggarjati
berlangsung pada tanggal 10-15 November 1946 di Linggarjati, Kuningan, Cirebon.
Dalam perundingan ini delegasi
Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir dan Dr. A.K. Gini, sedangkan pihak
Belanda dipimpin Prof. Schermerhorn dengan anggota Dr. Van Mook, F. De Boer,
dan Van Poll. Sebagai penengah adalah Lord Killearn dari Inggris, adapun
pokok-pokok Perundingan Linggarjati itu adalah sebagai berikut.
a.
Belanda mengakui secara de facto wilayah
RI atas Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda haus meninggalkan
daerah-darerah yang diakui secara de facto milik RI paling lambat tanggal 1
januari 1949.
b.
RI dan Belanda akan bekerja sama membentuk
Negara Indonsia Serikat (NIS) dengan nama RIS dan RI menjadi salah satu bagian
RIS.
c.
RIS dan Belanda akan membentuk Uni
Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai Ketua Uni.
Isi kesepakatan Perundingan
Linggarjai itu kemudian secara resmi ditandatangani pada tanggal 25 maret 1947
di Istan Rijswijk (sekarang Istana Merdeka Jakarta),
Dengan ditandatanagani Perundingan Linggarjati itu,
kedudukan Belanda di Indonesia bertambah kuat. Belanda merasa mendapat peluang
untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Bagi Indonesia sekalipun
dirugikan, tetapi tidak putus asa. Perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan dan
kedaulatan terus dilakukan.
Tujuan Pimpinan Republik dan
delegasi dengan menjalankan perundingan dan apakah tujuannya tercapai.
Sejak awal Hoge Veluwe terdapat 2
tujuan utama, yaitu : (1) berusaha agar Republik Indonesia diakui oleh sebanyak
mungkin negara didunia, sehingga perjuangan bangsa kita tidak lagi dianggap
sebagai “gerakan Nasional” dalam suatu negara Jajahan, tetapi sebagai negara
yang berdaulat penuh, (2) mempertahankan kekuatan fisik yang telah dibangun.
Pemimpin-pemimpin sadar sepenuhnya
bahwa tujuan pertama itu tidak dapat dicapai sekaligus. Tetapi Republik
Indonesia, betapapun terbatas wilayahnya, dapat menjadi batu lompatan untuk
mencapai tujuan terakhir, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
meliputi wilayah Hindia-Belanda.
Sehubungan dengan tujuan ke2, perlu
saya kemukakan bahwa suatu perundingan harus dilakukan atas dasar
kekuatan-kekuatan Pemerintah Republik dan Delegasinya dalam perundingan ialah
rakyat kita yang dengan tegas menolak untuk dijajah kembali. Tentara merupakan
ujung tombak perjuangan rakyat kita. Pendapat yang dianut oleh banyak peneliti
politik asing bahwa Pemerintah/Delegasi dan tentara merupakan 2 kekuatan yang
berdiri sendiri pada dasarnya adalah salah. Delegasi telah membuktikan bahwa
dalam perundingan mereka dapat mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut
bidang Militer (misalnya keputusan mengadakan gencatan senjata 14 Oktober 1946
dan hijrah satuan-satuan TNI yang diputuskan dalam rangka (Perjanjian
Renville). Akan tetapi ketentuan yang melemahkan atau mengakibatkan penghapusan
tentara kita ditolak karena ketentuan demikian melemahkan pemerintah sendiri.
Dengan adanya Font Militer yang
jauhnya beratus-ratus kilometer maka kontak senjata dan tindakan permusuhan
lainnya antara Belanda dan TNI/Laskar Rakyat tidak dapat dielakkan, kecuali
jika ada perintah dari pimpinan tentara dari kedua belah pihak, berdasarkan
suatu persetujuan gencatan senjata diadakan pada tanggal 7 Oktober itu
ditandatangani pada tanggal 14 Oktober 1946.
PERUNDINGAN POLITIK
Perundingan politik dimulai di
Jakarta, tempatnya bergantian antara Istana Rijswijk (sekarang Istana Negara)
tempat penginapan anggota Komisi Jenderal dengan tempat kediaman resmi Sjahrir
dipimpin oleh Schermerhorn, sedangkan perundingan di Istana Rijswijk dipimpin
oleh Sjahrir.
Sebagai dasar perundingan dipakai
rancangan persetujuan yang merupakan kombinasi rancangan Delegasi Indonesia dan
Delegasi Belanda. Perundingan di Jakarta diadakan 4 kali dengan yang terakhir
tanggal 5 November. Delegasi Republik Indonesia kemudian menuju ke Yogya untuk
memberi laporan kepada Presiden, Wakil Presiden dan kabinet dan
setelah itu berangkat ke Linggajati.
Lord Killearn datang pada tanggal
10 November dengan menumpang kapal perang Inggris HMS “Verayan Bay”. Beliau
diangkut dengan perahu motor ALRI ke Cirebon, diantar dengan mobil ke
Linggarjati dan ditempatkan dirumah yang terletak dekat rumah penginapan
Sjahrir.
Angkatan
Laut Belanda telah mempersiapkan kapal perang HM “Banckert” untuk dipakai
sebagai tempat penginapan Delegasi Belanda. Menjelang kedatangan Delegasi
Belanda, “Banckert” telah buang jangkar diluar pelabuhan Cirebon. Pada tanggal
11 November Delegasi Belandang datang dengan kapal terbang “Catalina” dan
dibawa ke “Banckert”. Seperti apa yang dilakukan satu hari sebelumnya perahu
motor ALRI datang untuk menjemput Delegasi Belanda, komandan “Banckert” menolak
dan minta Delegasi diangkut dengan perahu patroli “Banckert”. Hal ini ditolak
oleh komandan perahu motor ALRI. Akhirnya persoalan ini dipecahkan dengan
perkenankannya Delegasi Belanda diangkut perahu patroli “Banckert”, tetapi
dikawal oleh perahu motor ALRI.
PERUNDINGAN PERTAMA
Karena
“insiden Banckert” Delegasi Belanda baru sampai di Linggajati pukul
11.00 dan karena harus kembali ke “Banckert” jam setengah lima sore, maka
perundingan hari itu hanya singkat saja, yakni 3 setengah jam. Schermerhorn
memutuskan tinggal di Linggajati karena berpendapat akan menimbulkan kesan
kurang baik pada kalangan Indonesia jika ia kembali ke “Banckert”. Kecuali itu
ia berpendapat bahwa ia harus memenuhi undangan Presiden untuk makan malam
bersama. Ia dapat bertukar pikiran dengan Presiden dan menikmati pertunjukan
kesenian angklung.
PERUNDINGAN KEDUA
Sementara itu, Delegasi Indonesia
pagi-pagi berkumpul ditempat kediaman Sjahrir untuk mempersiapkan perundingan
hari itu. Pasal-pasal rancangan persetujuan dibahas dan direncanakan
alasan-alasan yang akan diusulkan. Perundingan hari itu berjalan sangat alot
dan berlangsung hampir 9 jam. Dua soal tidak dapat dicapai kesepakatan, yakni
soal perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dan soal kedaulatan Negara
Indonesia Serikat. Dalam soal Pertama, terutama Sjahrir, mendesak supaya
Belanda menerima usul bahwa Republik Indonesia mempunyai wakil-wakilnya sendiri
diluar negeri. Ia berusaha meyakinkan pihak Belanda bahwa perwakilan ini
terkait pada diakuinya Republik defacto, yang sudah disetujui oleh pihak
Belanda.
Malam itu atas undangan Presiden,
Delegasi Belanda berkunjung pada Presiden di Kuningan. Dalam kesempatan itu
hadir Wakil Presiden AK Gani dan Amir Sjarifudin. Sjahrir tidak hadir karena
sangat lelah dan karena mengira kunjungan Belanda hanya merupakan kunjungan
kehormatan.
Atas pertanyaan Presiden jalannya
perundingan, Van Mook menjelaskan bahwa tercapai kesepakatan mengenai satu soal
saja yakni usul Delegasi Indonesia untuk mengubah kata “merdeka” dibelakang
kata “berdaulat” artinya, yang diusulkan oleh Delegasi Indonesia adalah agar NIS
akan menjadi negara berdaulat. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa selama
perundingan Delegasi Belanda berkeberatan atas perubahan itu, tetapi setelah
dibicarakan antara mereka sendiri, mereka akhirnya dapat menyetujui usul pihak
Indonesia.
Van
Mook tidak mengutarakan bahwa masih ada soal lain yang belum dipecahkan, yakni
perwakilan Republik Indonesia diluar negri. Tetapi ia kemudian segera
menanyakan kepada Presiden apakah dengan diterimanya oleh pihak Belanda
perubahan “merdeka” menjadi “berdaulat” Presiden dapat menyetujui Rancangan
Perjanjian seluruhnya. Atas pernyataan itu Presiden menjawab dengan nada
antusias bahwa ia dapat menyetujuinya.
AK
Gani dan Amir Sjarifudin segera melaporkan kepada Sjahrir sangat menyesalkan
bahwa presiden sudah menyetujui Rancangan Perjanjian Linggarjati, padahal soal
perwakilan Republik di luar negeri belum diputuskan. Tetapi Sjahrir tunduk pada
keputusan Presiden. Maka waktu Schermerhorn datang dan mengusulkan untuk
diadakan rapat pleno dan diketuai Killearn, Sjahrir pun menyetujuinya
rapat pleno diadakan pada pukul 10.30 malam dengan Killear sebagai ketua
rapat yang menyatakan kegembiraannya atas tercapainya kesepakatan kedua
Delegasi.
Hari
berikutnya tanggal 13 November, diadakan rapat antara kedua Delegasi.
Sebelumnya Sjahrir telah bertemu dengan Presiden Soekarno yang tampak santai.
Ia hanya mengusulkan agar dimasukan dalam rancangan perjanjian satu pasal yakni
pasal mengenai arbitrase, yang diterima oleh Schermerhorn. Dengan dimasukannya
pasal arbitrase terbukti pada dunia luar bahwa Republik Indonesia dan Negara
Belanda sederajat. Komisi Jenderal kemudian berangkat ke Jakarta.
Pada
tanggal 15 November diadakan rapat kedua Delegasi di Istana Rijswijk. Dalam
rapat itu dimasukan pasal 17 mengenai arbitrase. Sorenya naskah dalam bahasa
Belanda diparaf di rumah Sjahrir dan pada tanggal 18 diparaf naskah bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris.
PRO DAN KONTRA DI KALANGAN MASYARAKAT INDONESIA
Perjanjian Linggarjati menimbulkan
pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia,
dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai
tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan
Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan
permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana
bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar
pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan Linggarjati.
PELANGGARAN PERJANJIAN
Pelaksanaan hasil perundingan ini
tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli1947, Gubernur Jendral H.J.
van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian
ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari
perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.
PERUNDINGAN RENVILLE
USS RENVILLE
AGRESI MILITER I
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan
Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
a.
Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
b.
Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan
lembaga devisa bersama;
c.
Republik Indonesia harus mengirimkan beras
untuk rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda;
d.
Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban
bersama, termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda
(gendarmerie bersama); dan
e.
Menyelenggarakan penilikan bersama atas
impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan
kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi
menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan
parpol-parpol di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak
kunjung tiba, Belanda terus "mengembalikan ketertiban" dengan
"tindakan kepolisian". Pada tanggal 20 Juli1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah
pihak Belanda melancarkan
'aksi polisionil' mereka
yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat
diperhitungkan sekali dimana mereka telah
menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak
dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten),
dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan
pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda
menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera,
perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan
batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi
Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan
putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui
tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan
Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi
pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya
menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah
melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan
aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan
merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak,
tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi
polisional' tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan
penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
S.M. Kartosoewirjo menolak
tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi.
Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari
gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak
menguntungkan bagi Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan
pemerintah RI dengan Belanda. Di
samping itu Kartosoewirjo tidak
menyukai arah politik Amir Syarifudin yang
kekiri-kirian. Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama
manggung di percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap
Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa Amir Syarifudin ingin
membawa politik Indonesia ke arah Komunis.
PERUNDINGAN RENVILLE
Atas usulan KTN pada tanggal 8
Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 dilaksanakan perundingan antara Indonesia
dan Belanada di atas kapal Renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi
Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr.
Tjoa Sik Len, Moh. Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi
Belanda terdiri dari Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr.
Soumukil, Pangran Kartanagara dan Zulkarnain. Ternyata wakil-wakil Belanda
hampir semua berasala dari bangsa Indonesia sendiri yang pro Belanda. Dengan
demikian Belanda tetap melakukan politik adu domba agar Indonesia mudah
dikuasainya.
Tanggal 8 Desember 1947
sampai 17 Januari 1948 berlangsung
konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, ternyata
menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah pihak
yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone
demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda
dari persetujuan Linggarjati, karena plebisit akan diadakan untuk menentukan
apakah berbagai kelompok di pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik
atau beberapa bagian dari federasi yang direncanakan Kedaulatan Belanda akan
tetap atas Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia Serikat.
Setelah
selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948
maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville.
Pokok-poko isi perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut :
a.
Belanda tetap berdaulat atas seluruh
wilayah Indonesia samapi kedaulatan Indonesia diserahkan kepada Republik
Indonesia Serikat yang segera terbentuk.
b.
Republik Indonesia Serikat mempunyai
kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam uni Indonesia-Belanda.
c.
Republik Indonesia akan menjadi negara
bagian dari RIS.
d.
Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat
menyerahkan sebagain kekuasaannya kepada pemerintahan federal sementara.
e.
Pasukan republic Indonesia yang berda di
derah kantong haruns ditarik ke daerah Republik Indonesia. Daerah kantong
adalah daerah yang berada di belakang Garis Van Mook, yakni garis yang
menghubungkan dua derah terdepan yang diduduki Belanda.
Perjanjian Renville ditandatangani
kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. adapun kerugian yang diderita
Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville adalah sebagai berikut :
a.
Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya
negara Indonesia Serikat melalaui masa peralihan.
b.
Indonesia kehilangan sebagaian daerah
kekuasaannya karena grais Van Mook terpaksa harus diakui sebagai daerah
kekuasaan Belanda.
c.
Pihak republik Indonesia harus menarik
seluruh pasukanya yang berda di derah kekuasaan Belanda dan kantong-kantong
gerilya masuk ke daerah republic Indonesia.
Penandatanganan naskah perjanjian Renville menimbulkan
akibat buruk bagi pemerinthan republik Indonesia, antra lain sebagai berikut:
a.
Wilayah Republik Indonesia menjadi makin
sempit dan dikururung oleh daerah-daerah kekuasaan belanda.
b.
Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para
pemimpin republic Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya cabinet Amir
Syarifuddin karena dianggap menjual negara kepada Belanda.
c.
Perekonomian Indonesia diblokade secara
ketata oleh Belanda.
d.
Indonesia terpaksa harus menarik mundur
kesatuan-kesatuan militernya dari daerah-daerah gerilya untuk kemudian hijrah
ke wilayah Republik Indonesia yang berdekatan.
e.
Dalam usaha memecah belah Negara kesatuan
republic Indonesia, Belanda membentuk negara-negara boneka, seperti; negara
Borneo Barat, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara jawa Timut.
Negara boneka tersebut tergabung dalam BFO (Bijeenkomstvoor Federal Overslag).
Pada tanggal 19 Januari
ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa peralihan
sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang
persetujuan Linggarjati : hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja
dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten tetap daerah
Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan wilayah yang
baru diperoleh Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda menjelaskan
mengapa persetujuan itu ditandatangani agar Belanda tidak "menimbulkan
rasa benci Amerika".
Sedikit banyak, ini merupakan
ulangan dari apa yang terjadi selama dan sesudah perundingan Linggarjati.
Seperti melalui persetujuan Linggarjati, melalui perundingan Renville, Soekarno
dan Hatta dijadikan lambang kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogyakarta
hidup lebih lama, jantung Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan inti
keuntungan Seperti sesudah persetujuan Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari
pusat kembali diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir,
kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap langsung bertanggung jawab jika
sesuatu salah atau dianggap salah.
RUNTUHNYA KABINET AMIR DAN NAIKNYA HATTA SEBAGAI
PERDANA MENTERI
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk
para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah,
terutama orang-orang PNI, Masyumi, dan
tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan
kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan
mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut Sjahrir mempertegas
perpecahan mereka dengan pengikut-pengikutAmir dengan
membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada
bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada
pemerintah Hatta.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan
keluar bagi Amir dibanding
dengan Sjahrirsesudah Perundingan
Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan. Beberapa hari
sesudah Amir berhenti, di
awal Februari 1948, Hatta membawa Amir dan
beberapa pejabat Republik lainnya mengelilingi Provinsi. Amir diharapkan
menjelaskanPerjanjian Renville. Pada
rapat raksasa di Bukittinggi, Sumatra Barat, di kota
kelahiran Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti terpenting selama
perjalanan- Hatta berbicara
tentang kegigihan Republik, dan pidatonya disambut dengan hangat sekali.
Kemudian Amir naik mimbar,
dan seperti diuraikan Hatta kemudian:
"Dia tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa ayang harus
dikatakannya. Dia merasa bahwa orang rakyat Bukittinggi tidak menyenanginya,
khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika
dia meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "Wajah
Amir kelihatannya seperti orang yang sudah tidak berarti". Sjahrir juga
diundang ke rapat Bukittinggi ini; dia datang dariSingapura dan
berpidato. Menurut Leon Salim -kader lama Sjahrir- "Sjahrir juga kelihatan
capai dan jarang tersenyum". Menurut kata-kata saksi lain,
"Seolah-olah ada yang membeku dalam wajah Sjahrir" dan ketika
gilirannya berbicara "Dia hanya mengangkat tangannya dengan memberi salam
Merdeka dan mundur". Hatta kemudian juga menulis dengan singkat tentang
pidato Sjahrir: "Pidatonya pendek". Dipermalukan seperti ini, secara
psikologis amat mungkin menjadi bara dendam yang menyulut Amir untuk
memberontak di kemudian hari.