Nama
Kelompok 4 : 1. Migrananto Ridho
Nugroho
2. Muhammad
Ardhian N F
3. Muhammad
Ichbal
4. Muhammad
Irfaan Yolanda
5. Nurun
Nubuwati
6. Puspasari
Wahyu Nugraheni
PEMERINTAHAN DARURAT REPUBLIK
INDONESIA (PDRI)
1. Latar Belakang Terbentuknya PDRI
Di
Bukitinggi, ketika mendengar berita belanda menyerang Yogyakarta Syafruddin pada
mulanya tidak percaya bahwa pemerintahan Republik dapat hancur sedemikian
cepatnya atau bahwa hampir smua anggota cabinet, termasuk Soekarno dan Hatta
telah membiarkan diri mereka tertahan. Dia menduga bahwa laporan itu mungkin
hanya propaganda Belanda, dan merasa kurang pasti dengan legalitas kekuasaanya,
dia menunda pembentukan pemerintahan darurat di Sumatra sampai sesudah dia,
bersama dengan para pemimpin pemerintahan provinsi Sumatra dan komandan militer
Sumatra yang baru colonel Hidayat, meninggalkan bukitinggi dan mundur ke
Halaban, kira-kira 16 km di tenggara Payakumbuh. Mereka sampai disana 21
Desember dan segera di ikuti residen Sumatra Barat Rasjid.
Di Halaban mereka segera menyusun
strategi untuk menjawab serangan belanda. Yakin bahwa pada saat itu pemimpin-pemimpin Republik di Jawa
telah di tahan belanda, maka pada tanggal 22 Desember Syafrudin mengumumkan
berdirinya pemerintahan darurat republic Indonesia (PDRI), dia sendiri sebagai
ketua, gubernur Sumatra Mr. Tengku Moh D. Hassan sebagai wakil ketua dan Mr.
Rasjid sebagai menteri keamanan. Kabinet mengangkat panglima angkatan darat,
laut dan udara, dan menunjuk perwakilan Indonesia di India, Mr. Maramis sebagai
menteri luar negeri dan menugaskannya agar membawa masalah Indonesia ke PBB.
Mereka kemudian menunjuk Susanto- seuanya menteri dalam cabinet Hatta yang
luput dari penangkapan Belanda ketika mereka meyerang Yogyakarta.
Sejak itu
PDRI memainkan peranan penting dan menjamin bahwa perjuangan melawan Belanda
tetap di pimpin oleh pemerintahan yang sah yang di akui oleh republic di
seluruh nusantara. PDRI merupakan symbol nasional dan faktor pemersatu,
khususnya bagi pasukan gerilya yang terpencar di seluruh Jawa dan Sumatra,
karena pemerintahan Syafruddin diakui oleh pasukan Republik (dibawah panglima
besar sudirman). Sebagai pengganti yang sah dari pemerintahan Soekarno dan
Hatta. Penulis sejarah Sumatra Barat Mestika Zed mempertanyakan apa yang akan
terjadi bagi perjuangan kemerdekaan Republik seandainya PDRI tidak mendapatkan
kesetiaan dari Sudirman dan perwira bawahannya di Jawa dan Sumatra.
Sebelum
meninggalkan Halaban, pemimpin republic memencar. Syafruddin dan kebanyakan
menterinya berangkat ke selatan unuk mendirikan pemerintahan mobil di bidang
alam, di perbatasan Sumatra barat dengan Jambi. Colonel Hidayat dan komandemen
militer Sumatra bernagkat ke utara, berhenti untuk beberapa minggu di rao, di
bagian utara Sumatra barat dan kemudian melanjutkan “long march” ke Aceh disana
Hidayat membentuk markas komando, militer Sumatra di daerah yang tidak pernah
terjamah oleh Belanda. Mr. Rasjid dan anggata pemerintahan Sumatra Barat pindah
ke Kototinggi, suatu nagari di pegunungan di luar Suliki, sebelah utara
Payakumbuh. Ia ditemani oleh Catib Sulaiman dan Anwan Sutansaidi, sampai disana
24 desember dan membentuk pemerintahan militer Sumatra barat di kantor
perwakilan nagari.
2. Tokoh Sjafruddin Prawiranegara
serata Peranannya dalam PDRI

Sebelum
kemerdekaan, Sjafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta
(1939-1940), Petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), serta
pegawai departemen Keuangan Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, Ia menjadi
anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang
bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR
dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis Besar
Haluan Negara (GBHN).
Agresi Militer
Belanda II atau operasi gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan
serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan
Soekarno, Mohammad Hatta, Syahrir dan beberapa tokoh lainnya. Pemerintahan
resmi lumpuh. Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh dewan siasat,
yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan
Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin
Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi, bahwa ia
diangkat sementara membentuk kabinet dan mengambil alih Pemerintahan Pusat.
Pemerintahan Sjafruddin ini kemudian dikenal sebagai Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia.
Di sebuah
dangau kecil yang belakangan dikenal sebgai “Dangau Yaya” Syafruddin
Prawiranegara mengumumkan berdirinya PDRI pada Rabu 22 Desember 1948. Dari
sudut pandang seorang pemuda pengikutnya, Kamil Koto, mengalirlah kisah
presiden Sjahfruddin Prawiranegara yang selama 207 hari nyaris melanjutkan
kemudi kapal besar bernama Indonesia yang sedang oleng dan nyaris karam. Sebuah
perjuangan yang mungkin terlupakan, tetapi sangat krusial dalam memastikan
keberlangsungan Indonesia. Atas usaha Pemerintahan Darurat, Belanda terpaksa
berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan
akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13
Juli 1949, diadakan siding antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden
Hatta serta sejumlah Menteri kedua Kabinet. Serah terima pengembalian mandat
dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta. Meskipun
hanya sementara memegang jabatan Presiden, namun memiliki arti penting pada
masanya. Tetapi sosok Syafruddin Prawiranegara seolah tenggelam ketika penguasa
Orde Baru menebar jaring kepatuahan tanpa reserve. Tampaknya Syafruddin
Prawiranegara memang berseberangan dengan Suharto.
3. Peranan Syafruddin Prawiranegara
dalam PDRI
Mr.
Sjafruddin adalah seorang yang berjasa dalam menyelamatkan eksistensi Negara Republik
Indonesia. Di sini ada suatu peranan yang diberikan oleh Mr. Syafruddin
Prawiranegara adalah tetap membuat Indonesia berada dalam pemerintahan yang
merdeka dan berdaulat. Karena kita ketahui bahwa ketika Soekarno ditahan oleh
Pemerintah Belanda akibat dari Agresi Militer II maka Presiden memberikan
mandat kepada Mr. Syafruddin ini untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI). Kita telah mengetahui bahwa Negara merupakan integrasi dari
kekuatan politik, Negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Maka
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kepala Negara adalah suatu simbol dari
pemerintahan yang merdeka dan berdaulat karena didalamnya terdapat mengenai
unsure-unsur yang ada dalam suatu Negara.
Dengan
adanya PDRI dan Mr. Sjafruddin dipilih sebagai pejabat Presiden sementara maka
eksistensi Negara Indonesia tetap ada serta merdeka dan berdaulat karena
dihadapan pemerintah Belanda, pemerintahan RI de facto di pimpin oleh Soekarno
dari penjara, meskipun sebenarnya de jure pemerintahan berada di tangan
Syafruddin Prawiranegara dan kedudukan Soekarno yang berada dalam tahanan bukan
lagi sebagai kepala Negara yang merdeka dan berdaulat. Jadi, dengan diberikan
mandat dari Presiden kepada kepala pemerintahan darurat RI maka posisi Mr. Syafruddin
Prawiranegara sebagai pejabat Presiden sementara (Ketua PDRI) dan bukan
dianggap sebagai Presiden RI yang utuh karena ia hanya sebagai pemegang jabatan
sementara saja berdasarkan mandat yang diterimanya dari mandatory yaitu
Presiden Pertama RI sendiri. Maka dari fakta sejarah ini, Mr. Syafruddin
Prawiranegara tidak menyalahgunakan amanah pembentukan Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) untuk mengangkat dirinya sebagai Presiden PDRI
melainkan hanya sebagai ketua PDRI.
Ketika PDRI
sendiri Mr. Syafruddin ini sendiri selalu berpindah dari satu tempat ke tempat
lain bahkan sampai ke pelosok-pelosok daerah terpencil dikarenakan pemerintahan
PDRI sangat dicari oleh pihak kolonial belanda untuk dihancurkan. Namun ini
bukan berarti pemerintahan darurat ini tanpa adanya perlawanan karena pada
tanggal 1 Januari 1949 PDRI ini membentuk lima wilayah pemerintahan militer di
Sumatra yaitu Aceh dengan gubernur Militer Tgk Daud Beureuh. Daerah Tapanuli
dan Sumatra Timur Bagian Selatan dengan Gubernur Militer dr. Ferdinand Lumban
Tobing sedangkan Riau dengan Gubernur Militer R.M Utoyo. Sumatra Barat dipimpin
oleh Gubernur Militer Mr. Sultan Muhammad Rasjid dengan Wakil Gubernur Militer
Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim. Sementara Sumatra Selatan denagn Gubernur Militer
dr. Adnan Kapau Gani. Mungkin pembentukan ini dengan maksud sebagai alat
bertahan dan melakukan dari gerakan mobilisasi tentara pemerintahan Belanda
sehingga Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tetap terlindungi dari
serangan musuh dan eksistensi Negara Indonesia tetap ada.
4. Kronologi dari PDRI
Setelah
terjadinya peristiwa pengkudetaan PKI di Madiun 19 September 1948, Belanda
kembali melancarkan Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948 tepatnya
pukul 06.00 pagi. Serangan ini dilakukan oleh pihak Belanda sebagai serangan
terakhir yang bertujuan untuk menghancurkan Republik Indonesia. Dengan pasukan
lintas udara, serangan langsung ditujukan ke ibu kota Republik Indonesia,
Yogyakarta. Lapangan terbang Maguwo dapat dikuasai Belanda, dan selanjutnya
seluruh kota Yogyakarta. Dengan keberhasilan ini maka Belanda beranggapan bahwa
mereka dapat dengan mudah menduduki dan melumpuhkan ibu kota Republik
Indonesia. Dengan adanya Agresi Militer II ini secara fisik Belanda berhasil
menangkap dan menawan Presiden Soekarno yang diterbangkan ke Prapat dan
kemudian dipindahkan ke Bangka, Wakil Presiden Mohammad Hatta yang diasingkan
di Bangka, dan beberapa petinggi lainnya seperti Agus Salim (Menteri Luar
Negeri), Mohammad Roem dan beberapa menteri lainnya.
Sebelum para
petinggi Republik Indonesia ini di tawan oleh pihak Belanda, mereka mengadakan
sidang Kabinet dan mengambil sebuah keputusan untuk memberikan mandat melalui
radiogram yang akan dikirimkan kepada Menteri Kemakmuran yaitu Mr. Syarifuddin
Prawiranegara yang sedang berada di
Sumatera. Mandat atau materi kawat ini dikirim pada menit-menit terakhir
sebelum Soekarno-Hatta ditawan. Mandat tersebut berisikan agar Mr. Syarifuddin
Prawiranegara mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Dengan
tertangkapnya para petinggi Republik Indonesia lantas tidak berarti bahwa
pemerintah Republik Indonesia telah berakhir. Pada umumnya tentara Republik
Indonesia tidak dapat memahami alasan menyerahnya para politisi sipil pada
Belanda sementara para prajurit mengorbankan jiwa mereka demi Republik. Seluruh
kekuatan TNI yang ada di Yogyakarta di perintahkan keluar kota untuk
bergerilya. Pasukan-pasukan Republik Indonesia mengundurkan diri ke luar
kota-kota dan memulai perang gerilya secara besar-besaran di kedua belah garis
Van Mook. Selain menteri kawat yang dikirimkan kepada Mr. Syarifuddin
Prawiranegara, wakil presiden Mohammad Hatta dan Menteri Luar Negeri Hadji
Agoes Salim mengirim Kawat kedua kepada Dr. Soedarsono, A.N. Palar, Mr. A.A.
Maramis di New Delhi.
Materi kawat
atau radiogram itu ternayata tidak pernah diterima oleh Mr. Syarifuddin, hal
ini diperkirakan bahwa dalam keadaan perang itu sangat dituntut mobilitas yang
tinggi dengan berpindah-pindah kedudukan yang dimaksudkan untuk menghindari
serangan dari lawan. Kekhawatiran inilah yang menyebabkan Hatta mengirimkan
radiogram kepada Dr. Sudardono, A.N. Palar, Mr. A.A. Maramis. Namun,
kontroversi mengenai sampai tidaknya radiogram itu berhenti pada tanggal 22
Desember 1948, ketika di desa Halaban, dekat Payakumbuh, Sumatra Barat,
diadakan rapat dengan beberapa tokoh, yang akhirnya memutuskan untuk membentuk
pemerintah darurat. Mr. Syafruddin Prawiranegara, terpilih sebagai PDRI dan
pada tanggal 31 Maret 1949 berhasil membentuk pemerintah darurat.
5.
Susunan
Kabinet PDRI
A. Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Ketua
merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan
B. Mr. Soesanto Tirtoprodjo: Wakil
Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda
C. Mr. AA. Maramis: Menteri Luar Negeri
(berkedudukan di New Delhi, India)
D. dr. Soekirman: Menteri Dalam Negeri
merangkap Menteri Kesehatan
E. Mr. Loekman Hakiem: Menteri Keuangan
F. Mr. IJ. Kasimo: Menteri Kemakmuran
dan Pengawas Makanan Rakyat
G. KH. Masjkoer: Menteri Agama
H. Mr. T. Moh. Hasan: Menteri
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
I.
Ir.
Indratjahja: Menteri Perhubungan
J.
Ir. Mananti
Sitompoel: Menteri Pekerjaan Umum
K. Mr. St. Moh. Rasjid: Menteri
Perburuhan dan SosiaL
6.
Perjalanan
singkat PDRI
Setelah
ditawannya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta dan beberapa Menteri
lainnya. Sesuai dengan rencana awal dalam sidang kabinet tanggal 19 Desember
1948 bahwa seluruh kekuatan TNI yang masih ada di Yogyakarta diperintahkan ke
luar kota untuk melakukan gerilya. Angkatan perang yang telah membagi wilayah
pertahanan republik menjadi dua komando, yaitu Jawa dan Sumatra siap
melaksanakan rencana di bidang pemerintahan tersebut. Untuk melancarkan
rencananya telah disiapkan konsepsi baru dalam bidang pertahanan. Konsepsi
tersebut dituangkan dalam perintah siasat nomor 1 tahun 1948 yang pokok isinya
adalah sebagai berikut:
a.
Tidak
melakukan pertahanan yang linear
b.
Memperlambat
setiap majunya serbuan musuh dan
pengungsian total, serta bumi hangus total
c.
Membentuk
kantong-kantong di tiap onderdistrik yang mempunyai kompleks di beberapa pegunungan,
dan
d.
Pasukan-pasukan
yang berasal dari daerah-daerah federal menyusup ke belakang garis musuh dan
membentuk kantong-kantong sehingga seluruh pulau Jawa akan menjadi medan
gerilya yang luas.
Siasat ini
berhasil untuk melawan Belanda yang bersenjatakan lengkap. Perlahan ara TNI ini
bergerilya ke luar Yogyakarta. Di jawa, berdasarkan siasat tersebut berlangsung
long march siliwangi yang sangat terkenal itu. Sejumlah 11 Bathalion Divisi
Siliwangi dengan keluarga mereka dan penduduk lainnya mulai bergerak kembali ke
Jawa Barat dengan jalan kaki. Namun, setibanya di Jawa Barat mereka dihadang
oleh Tentara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Kartosuwiryo. Namun, setelah
dua bulan melkaukan long march, mereka berhasil untuk menguasai atau memperoleh
kedudukan di Jawa Barat sesuai dengan yang diharapkan.
Berkat
Perjuangan Mr. Syafruddin Prawiranegara dengan PDRI di Bukittinggi Sumatra
Barat dan exile government di India, serta perjuangan A.N. Palar selaku wakil
Indonesia di PBB, menyebabkan dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi pada
tanggal 28 Januari 1949.
Kemudian
pada yanggal 1 maret1949 terjadilah serangan umum terhadap kota Yogyakarta yang
diduduki oleh Belanda ketika itu. Penyerangan inii dilakukan oleh TNI dan
dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Komandan Brigade 10 daerah wehrkreise
ketiga yang membawahi daerah Yogyakarta. Awal penyerangan ini dibentuk
sektor-sektor untuk mempermudah pengepungan. Seckor barat dipimpin oleh major
Fentje Sumual, sektor untuk selatan dan timur dipimpin oleh major Sarjono,
sektokr utara dipimpin oleh major Kusno. Untuk sektor kota sendiri ditunjuk
Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki. Serangan dilakukan dari berbagai
penjuru kota, sehingga dalam waktu 6 jam Yogyakarta behasil di kepung dan di
kuasai oleh TNI. Dan serangan umum ini berhasil mencapai tujuannya yaitu
mendukung perjuangan secara diplomasi dan meninggikan moral rakyat serta
TNI yang sedang bergerilya, menunjukkan
kepada dunia Internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan yang mampu mengadakan
ofensif serta mematahkan moral pasukan Belanda.
7.
Akhir dari
PDRI
Belanda
menerima himbauan PBB supaya mengadakan gencatan senjata pada tanggal 31
Desember 1948 di Jawa dan tanggal 5 Januari 1949 di Sumatra, tetapi perang
gerilya terus berlangsung. Sebagian besar satuan tentara beroperasi secara
otonom selama perang gerilya ini. Di samping banyak kemenangan kecil mereka
atas pihak Blanda, pasukan-pasukan Republik yang berada di bawah pimpinan
Letnan Kolonel Soeharto mendapat suatukemenangan besar ketika mereka berhasil
merebutkembali dan menguaasai Yogyakarta selama eman jam pada tanggal 1 Maret
1949.
PBB dan Amerika Serikat mulai
mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Belanda. Dengan memberikan berbagai
tekanan dan ancaman yang dilakukan oleh militer Rrepublik dan Amerika Serikat,
akhirnya pada bulan April Belanda telah sepakat untuk menyerah , tetapi
mendesak untuk mengadakan perbincangan-perbincangan dengan pemerintah Republik.
Pada tangal 6 Juli 1949 pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.
Berahkirnya
keperintahan PDRI ini kemudian berkaitan erat dengan perundingan Roem-Royen
dimana Belanda menyetujui pemerintahan republik ke Yogyakarta. Dan membebaskan
tahanan politik yang ditahan sejak 19
Desember 1948 tersebut, hal ini juga berarti pemerintahan kedaulatan akan segera
di serahkan oleh Belanda kepada Padaris, ditambah dengan menginggalnya Panglima
Militer Belanda Simon H. Spoor yaitu salah satu tokoh yang memprakarsai
perebutan kedaulatan pemerintah Indonesia.
Walaupun
begitu, pertahanan Indonesia di Sumatra tak sepenuhnya aman Belanda yang
berkubu di Bukittinnggi beruasaha berkali-kali mengusir pasukan kita yang
berpangkal di Palupuh. Hingga sampai pada penyerahan kedaulatan oleh Belanda ke
Republik Indonesisa. Pertempuran-pertempuran tidak sering terjadi terlebih setelah
case fire gerakan Belanda yang tertuju pada keamanan saja.
Beberapa
tokoh agak sedikit bertentangan dengan delegasi-delegasi Belanda yang berdampak
pada putusan pengembalian mandat PDRI kepada pemerintahan di Yogyakarta.
Pemerintahan yang berlangsung kurang lebih selama 7 bulan ini berakhir ketika
penyerahan mandat dari PDRI kepada Hatta pada tanggal 14 Juli 1948. Setelah
perjanjian Rpem-Royen disahkan dan Natsir meyakinkan Prawiranegara untuk datang
dan menyelesaikan duailisme pemerintahan yang ada pada saat itu.
PERJANJIAN
ROEM ROYEN
Isi Perjanjian
Roem Royen - Akhirnya titik terang dalam sengketa penyelesaian konflik antara
pihak Indonesia-Belanda terlihat. Hal ini dikarenakan kedua belah pihak
bersedia untuk maju ke meja perundingan. Keberhasilan membawa masalah
Indonesia-Belanda ke meja perundingan tidak terlepas dari inisiatif komisi PBB
untuk Indonesia. Pada tanggal April 4 April 1949 dilaksanakan perundingan di
Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, anggota komisi dari Amerika serikat. Delegasi
Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem.
Dalam
perundingan Roem Royen, pihak Republik Indonesia tetap berpendirian bahwa
pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta merupakan kunci
pembuka untuk perundingan selanjutnya. Sebaliknya, pihak Belanda menuntut
penghentian perang gerilya oleh Republik Indonesia. Akhirnya, pada tanggal 7
Mei 1949 berhasil dicapai persetujuan antara pihak Belanda dengan pihak
Indonesia. Kemudian disepakati kesanggupan kedua belah pihak untuk melaksanakan
Resolusi Dewan Keamanan PBB tertanggal 28 Januari 1949 dan persetujuan pada
tanggal 23 Maret 1949. Pernyataan pemerintah Republik Indonesia dibacakan oleh
Ketua Delegasi Indonesia Mr. Mohammad Roem yang berisi antara lain sebagai berikut.
1.
Pemerintah
Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah penghentian perang gerilya.
2.
Kedua
belah pihak bekerja sama dalam hai mengembalikan perdamaian dan menjaga
keamanan serta ketertiban.
3.
Belanda
turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang bertujuan mempercepat
penyerahan kedaulatan lengkap dan tidak bersyarat kepada negara Republik
Indonesia Serikat.
Pernyataan
Delegasi Belanda dibacakan oleh Dr. J.H. van Royen, yang berisi antara lain
sebagai berikut.
1.
Pemerintah
Belanda menyetujui bahwa pemerintah Republik Indonesia harus bebas dan leluasa
melakukan kewajiban dalam satu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta.
2.
Pemerintah
Belanda membebaskan secara tidak bersyarat para pemimpin Republik Indonesia dan
tahanan politik yang ditawan sejak tanggal 19 Desember 1948.
3.
Pemerintah
Belanda menyetujui bahwa Republik Indo-nesia akan menjadi bagian dari Republik
Indonesia Serikat (RIS).
4.
Konferensi
Meja Bundar (KMB) akan diadakan secepatnya di Den Haag sesudah pemerintah
Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.
Dampak Perjanjian Roem Royen
Dengan
tercapainya kesepakatan dalam Perjanjian Roem-Royen maka Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono
IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari tangan Belanda. Sementara
itu, pihak TNI dengan penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu. Namun,
Panglima Besar Jenderal Sudirman memperingatkan seluruh komando di bawahnya
agar tidak memikirkan masalah-masalah perundingan.
Perjanjian Roem Royen
Untuk
mempertegas amanat Jenderal Sudirman itu, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa
Kolonel A.H. Nasution memerintahkan agar para komandan lapangan dapat
membedakan gencatan senjata untuk kepentingan politik atau kepentingan militer.
Pada umumnya kalangan TNI tidak mempercayai sepenuhnya hasil-hasil perundingan,
karena selalu merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Pada tanggal 22 Juni 1949
diadakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor
Federaal Overleg (BFO), dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB yang
dipimpin oleh Christchley. Perundingan itu menghasilkan tiga keputusan, yaitu
sebagai berikut.
1.
Pengembalian
pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta akan dilaksanakan pada tanggal 4
Juni 1949.
2.
Perintah
penghentian perang gerilya akan diberikan setelah pemerintahan Republik
Indonesia berada di Yogyakarta pada tanggal 1 Juli 1949.
3.
Konferensi
Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.
Pasca Perjanjian Roem Royen
Setelah
tercapainya perundingan Roem Royen, pada tanggal 1 Juli 1949 pemerintah
Republik Indonesia secara resmi kembali ke Yogyakarta. Selanjutnya, disusul
dengan kedatangan para pemimpin Republik Indonesia dari medan gerilya. Panglima
Besar Jenderal Sudirman tiba kembali di Yogyakarta tanggal 10 Juli 1949.
Setelah pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta, pada tanggal 13
Juli 1949 diselenggarakan siding cabinet. Dalam siding tersebut Syafruddin
Prawiranegara mengembalikan mandate kepada wakil presiden Moh Hatta. Dalam
siding tersebut juga diputuskan Sri Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi
menteri pertahanan merangkap koordinator keamanan.
0 komentar:
Posting Komentar