Posted By : Muhammad Irfaan Yolanda
1. Ahza Arzanul Haq
2. Argayoga Laksana Satya Graha
3. Bagaskara Dwi Wahyujati
4. Malik Kamaludin Bazar
5. Muhammad Irfaan Yolanda
6. Riska Ayu wulandari
7. Septian Adi Hananto
8. Wasis Singih Sasono
SERANGAN
UMUM EMPAT HARI
SURAKARTA

Mereka yang melakukan serangan bergabung dalam Detasemen II
Brigade 17 Surakarta yang dipimpin Mayor Achmadi. Untuk menggempur
markas penjajah, serangan dilakukan dari empat penjuru kota Solo. Rayon I dari Polokarto dipimpin Suhendro, Rayon II
dipimpin Sumarto). Sementara itu
Rayon III dengan komandan Prakosa, Rayon IV
dikomandani A Latif (almarhum), serta Rayon Kota
dipimpin Hartono. Menjelang pertengahan pertempuran Slamet Riyadi dengan
pasukan Brigade V/Panembahan Senopati turut serta dan menjadi tokoh kunci dalam
menentukan jalannya pertempuran.
Kegagalan Tentara Kerajaan Belanda mempertahan Kota Solo
menggoyahkan keyakinan Parlemen Belanda atas kinerja tentaranya. Sehingga
memaksa perdana menteri Drees terpaksa
mengakomodasi tuntutan delegasi Indonesia sebagai syarat sebelum mereka
bersedia menghadiri Konferensi Meja Bundar
Awal Mula Serangan Umum Solo
Pada awal Agustus 1949, Letnan Kolonel Slamet Riyadi sedang
berada di pos Rayon I, wilayah Bekonang, sekitar delapan kilometer sebelah
timur kota Solo. Pada saat bersamaan, ia ikut mendengarkan laporan yang
disampaikan oleh KaStaf Rayon I, kepada yang diwakilinya yaitu komandan Rayon I
(Rayon Timur), dalam rapat yang diadakan oleh Mayor Akhmadi selaku komandan SWK
106 Arjuna. Dalam rapat komando yang mengundang seluruh komandan Rayon itu
(seluruhnya ada lima Rayon), Komandan SWK 106 Arjuna mengeluarkan surat
Perintah Siasat No. 1/8/Swk/A-3/Ps-49, tentang serangan besar-besaran ke dalam
kota, pada 7 Agustus 1949. Segera setelah itu Slamet Riyadi kembali ke markas
komandonya dan mengeluarkan Surat Perintah No. 0181Co.P.P.SJ 49, tertanggal 8
Agustus 1949, berisi perintah mengadakan serangan perpisahan tanggal 10 Agustus
1949, menjelang dilaksanakannya gencatan senjata tanggal 11 Agustus 1949
(berlaku mulai pukul 00.00.
Penting
diketahui, bahwa perintah siasat yang dikeluarkan oleh Mayor Akhmadi tersebut
hanya ditujukan bagi seluruh pasukan yang dipimpinnya, yaitu Sub Wehrkreise
(SWK) 106 Arjuna, yang terdiri dari lima rayon, dengan wilayah operasi kota
Solo dan sekitarnya. Situasi yang berkembang di awal Agustus 1949 itu,
berkaitan dengan perintah Panglima Tertinggi Angkatan Perang/Presiden RI
tentang penghentian permusuhan, yang sempat memunculkan terjadinya
kesalah-pahaman di antara pimpinan WK I (Letnan Kolonel Slamet Riyadi) dan
pimpinan SWK 106 Arjuna (Mayor Akhmadi), demikian pula dengan jajaran di
bawahnya. Persoalan ini akhirnya dapat diselesaikan oleh staf Gubernur Militer
II dan Gubernur Militer II selanjutnya menyerahkan kebijaksanaan penanggulangan
gencatan senjata kepada Mayor Akhmadi, dengan kedudukan sebagai Komandan KMK
(komando militer kota) Solo.
Jalannya Pertempuran
Pada tanggal 7 agustus 1949 dimulai SU pada pukul 06.00
pagi. Pada hari tersebut pasukan SWK 106 Arjuna telah menyusup dahulu dan mulai
menguasai kampung-kampung dalam kota Solo. Ketika waktu ditetapkan telah tiba
pasukan TNI yang telah masuk kota menyerang dari semua penjuru, memaksa tentara
Belanda terkonsentrasi di markas-markas mereka. Serangan itu meliputi markas
komando KL 402 Jebres, sebuah pos di Jurug, Jagalan, kompleks BPM-Balapan,
serta markas artileri medan di Banjarsari.
Pada hari kedua 8 Agustus 1949, pertempuran berlangsung
hingga tengah malam, TNI membantu serangan itu dengan memasang berbagai
rintangan di jalan-jalan di sekitar daerah Pasar Kembang. Namun Belanda mencium
rencana itu, kemudian menangkapi orang-orang yang berada di sekitarnya.
Terdapat 26 orang, termasuk wanita dan anak-anak yang berhasil ditangkap pihak
Belanda, 24 di antaranya dihabisi. Ke 24
orang itu terdiri dari 10 orang laki-laki, termasuk seorang anggota TNI/TP, 6
orang wanita, dan 8 anak-anak. Pada saat itulah seluruh pasukan dari SWK (Sub
Wehrkreis) 100 sampai 105 mulai dikerahkan untuk membantu serangan hari pertama
dengan sasaran seluruh kota Solo dan Letnan Kolonel Slamet Riyadi mulai
memegang komando mengantikan Mayor Akhmadi.
Pada hari ketiga, 9 Agustus 1949 dikisahkan, Belanda semakin
membabi-buta dalam membalas serangan, dibantu oleh pasukan KST (Korps Spesiale
Troepen), menembak setiap lelaki yang dijumpainya. Dalam peristiwa ini, seorang
komandan regu Seksi I Kompi I, Sahir gugur di daerah pertempuran Panularan.
Hari keempat, 10 Agustus 1949 sebagaimana diperintahkan oleh
komandan Wehrkreise I Brigade V, Letnan Kolonel Slamet Riyadi, TNI melaksanakan
serangan perpisahan menandai akhir masa serangan umum empat hari. Dengan
demikian meningkatkan moril pasukan gerilya TP. Pertempuran itu terus berlangsung
hingga tengah malam, menjelang dimulainya masa gencatan senjata pada pukul
00.00 tanggal 11 Agustus 1949. Sementara itu pihak tentara Belanda, sebagai
pembalasan atas tewasnya 2 anggota KL, pada hari yang semestinya sudah berlaku
gencatan senjata, yaitu pukul 11.00, memaksa keluar rumah baik penduduk lelaki
maupun wanita, untuk kemudian membantainya, serta membakar rumah mereka dengan
alat penyembur api.
Secara
taktis, serangan hari keempat ini berhasil menguasai seluruh wilayah kota. Pada
kesempatan itu, Letnan Kolonel Slamet Riyadi selaku komandan Wehrkreise I memerintahkan kepada Mayor Akhmadi selaku
komandan SWK 106, untuk menarik seluruh pasukan ke garis tepi kota, sebagai
pelaksanaan gencatan senjata. Memang pada kenyataannya pelaksanaan gencatan
senjata tidak sesegera itu berlangsung dengan aman. Masih terjadi beberapa
insiden yang melibatkan kedua belah pihak yang bertempur. Tanpa mengindahkan
mulai berlakunya masa gencatan senjata, pasukan yang dikenal kejam ini
melakukan pembantaian di markas PMI, di wilayah Gading. Adalah kediaman Dr. Padmonegoro, ketua PMI cabang Surakarta yang
menjadi sasaran serangan itu, saat itu menjadi tempat mengungsi sebagian
penduduk sekitar. Kekejaman tentara Baret Hijau Belanda ditunjukkan dengan
membantai para pengungsi dengan tanpa melepaskan tembakan sama sekali, namun
dengan cara menyembelihnya. Dalam pembantaian dini hari ini, tercatat 14
petugas PMI gugur, ditambah 8 orang pengungsi tewas, sementara 3 orang lainnya yang juga menjadi korban
penyembelihan tidak sampai tewas.
Pengaruh
Serangan Umum Solo
Serangan
Umum Tentara Pelajar Solo (DETASEMEN-II / BRIGADE-17 TNI), 8 Februari 1949, 2
Mei 1949 dan 7 – 10 Agustus 1949 yang kala itu terbukti berhasil memperkuat
posisi tawar politik perjuangan diplomasi delegasi Republik Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB), Den Haag,
sehingga berujung dicapainya Kedaulatan Republik Indonesia 27 Desember 1949
dapat berdampingan dengan Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945. Hal ini terjadi
karena Belanda sadar bila mereka tidak akan mungkin menang secara militer,
mengingat Solo yang merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu
berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi
didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang andal seperti Slamet Riyadi.
0 komentar:
Posting Komentar