Cari

Kamis, 20 Oktober 2016

Posted By : Muhammad Irfaan Yolanda
1.     Ahza Arzanul Haq
2.     Argayoga Laksana Satya Graha
3.     Bagaskara Dwi Wahyujati
4.     Malik Kamaludin Bazar
5.     Muhammad Irfaan Yolanda
6.     Riska Ayu wulandari
7.     Septian Adi Hananto
8.     Wasis Singih Sasono


SERANGAN UMUM EMPAT HARI
SURAKARTA
Serangan Umum ini  berlangsung pada tanggal 7 -10 Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya. Menurut catatan sejarah, serangan itu digagas di kawasan Monumen Juang 45, BanjarsariSolo. Untuk menyusun serangan, para pejuang berkumpul di Desa WonosidoKabupaten Sragen dari situlah ide untuk melakukan serangan umum dikobarkan.
Mereka yang melakukan serangan bergabung dalam Detasemen II Brigade 17 Surakarta yang dipimpin Mayor Achmadi. Untuk menggempur markas penjajah, serangan dilakukan dari empat penjuru kota Solo. Rayon I dari Polokarto dipimpin Suhendro, Rayon II dipimpin Sumarto). Sementara itu Rayon III dengan komandan Prakosa, Rayon IV dikomandani A Latif (almarhum), serta Rayon Kota dipimpin Hartono. Menjelang pertengahan pertempuran Slamet Riyadi dengan pasukan Brigade V/Panembahan Senopati turut serta dan menjadi tokoh kunci dalam menentukan jalannya pertempuran.
Kegagalan Tentara Kerajaan Belanda mempertahan Kota Solo menggoyahkan keyakinan Parlemen Belanda atas kinerja tentaranya. Sehingga memaksa perdana menteri Drees terpaksa mengakomodasi tuntutan delegasi Indonesia sebagai syarat sebelum mereka bersedia menghadiri Konferensi Meja Bundar

Awal Mula Serangan Umum Solo
Pada awal Agustus 1949, Letnan Kolonel Slamet Riyadi sedang berada di pos Rayon I, wilayah Bekonang, sekitar delapan kilometer sebelah timur kota Solo. Pada saat bersamaan, ia ikut mendengarkan laporan yang disampaikan oleh KaStaf Rayon I, kepada yang diwakilinya yaitu komandan Rayon I (Rayon Timur), dalam rapat yang diadakan oleh Mayor Akhmadi selaku komandan SWK 106 Arjuna. Dalam rapat komando yang mengundang seluruh komandan Rayon itu (seluruhnya ada lima Rayon), Komandan SWK 106 Arjuna mengeluarkan surat Perintah Siasat No. 1/8/Swk/A-3/Ps-49, tentang serangan besar-besaran ke dalam kota, pada 7 Agustus 1949. Segera setelah itu Slamet Riyadi kembali ke markas komandonya dan mengeluarkan Surat Perintah No. 0181Co.P.P.SJ 49, tertanggal 8 Agustus 1949, berisi perintah mengadakan serangan perpisahan tanggal 10 Agustus 1949, menjelang dilaksanakannya gencatan senjata tanggal 11 Agustus 1949 (berlaku mulai pukul 00.00.
Penting diketahui, bahwa perintah siasat yang dikeluarkan oleh Mayor Akhmadi tersebut hanya ditujukan bagi seluruh pasukan yang dipimpinnya, yaitu Sub Wehrkreise (SWK) 106 Arjuna, yang terdiri dari lima rayon, dengan wilayah operasi kota Solo dan sekitarnya. Situasi yang berkembang di awal Agustus 1949 itu, berkaitan dengan perintah Panglima Tertinggi Angkatan Perang/Presiden RI tentang penghentian permusuhan, yang sempat memunculkan terjadinya kesalah-pahaman di antara pimpinan WK I (Letnan Kolonel Slamet Riyadi) dan pimpinan SWK 106 Arjuna (Mayor Akhmadi), demikian pula dengan jajaran di bawahnya. Persoalan ini akhirnya dapat diselesaikan oleh staf Gubernur Militer II dan Gubernur Militer II selanjutnya menyerahkan kebijaksanaan penanggulangan gencatan senjata kepada Mayor Akhmadi, dengan kedudukan sebagai Komandan KMK (komando militer kota) Solo.



Jalannya Pertempuran
Pada tanggal 7 agustus 1949 dimulai SU pada pukul 06.00 pagi. Pada hari tersebut pasukan SWK 106 Arjuna telah menyusup dahulu dan mulai menguasai kampung-kampung dalam kota Solo. Ketika waktu ditetapkan telah tiba pasukan TNI yang telah masuk kota menyerang dari semua penjuru, memaksa tentara Belanda terkonsentrasi di markas-markas mereka. Serangan itu meliputi markas komando KL 402 Jebres, sebuah pos di Jurug, Jagalan, kompleks BPM-Balapan, serta markas artileri medan di Banjarsari.
Pada hari kedua 8 Agustus 1949, pertempuran berlangsung hingga tengah malam, TNI membantu serangan itu dengan memasang berbagai rintangan di jalan-jalan di sekitar daerah Pasar Kembang. Namun Belanda mencium rencana itu, kemudian menangkapi orang-orang yang berada di sekitarnya. Terdapat 26 orang, termasuk wanita dan anak-anak yang berhasil ditangkap pihak Belanda, 24  di antaranya dihabisi. Ke 24 orang itu terdiri dari 10 orang laki-laki, termasuk seorang anggota TNI/TP, 6 orang wanita, dan 8 anak-anak. Pada saat itulah seluruh pasukan dari SWK (Sub Wehrkreis) 100 sampai 105 mulai dikerahkan untuk membantu serangan hari pertama dengan sasaran seluruh kota Solo dan Letnan Kolonel Slamet Riyadi mulai memegang komando mengantikan Mayor Akhmadi.
Pada hari ketiga, 9 Agustus 1949 dikisahkan, Belanda semakin membabi-buta dalam membalas serangan, dibantu oleh pasukan KST (Korps Spesiale Troepen), menembak setiap lelaki yang dijumpainya. Dalam peristiwa ini, seorang komandan regu Seksi I Kompi I, Sahir gugur di daerah pertempuran Panularan.
Hari keempat, 10 Agustus 1949 sebagaimana diperintahkan oleh komandan Wehrkreise I Brigade V, Letnan Kolonel Slamet Riyadi, TNI melaksanakan serangan perpisahan menandai akhir masa serangan umum empat hari. Dengan demikian meningkatkan moril pasukan gerilya TP. Pertempuran itu terus berlangsung hingga tengah malam, menjelang dimulainya masa gencatan senjata pada pukul 00.00 tanggal 11 Agustus 1949. Sementara itu pihak tentara Belanda, sebagai pembalasan atas tewasnya 2 anggota KL, pada hari yang semestinya sudah berlaku gencatan senjata, yaitu pukul 11.00, memaksa keluar rumah baik penduduk lelaki maupun wanita, untuk kemudian membantainya, serta membakar rumah mereka dengan alat penyembur api.
Secara taktis, serangan hari keempat ini berhasil menguasai seluruh wilayah kota. Pada kesempatan itu, Letnan Kolonel Slamet Riyadi selaku komandan Wehrkreise I  memerintahkan kepada Mayor Akhmadi selaku komandan SWK 106, untuk menarik seluruh pasukan ke garis tepi kota, sebagai pelaksanaan  gencatan senjata. Memang pada kenyataannya pelaksanaan gencatan senjata tidak sesegera itu berlangsung dengan aman. Masih terjadi beberapa insiden yang melibatkan kedua belah pihak yang bertempur. Tanpa mengindahkan mulai berlakunya masa gencatan senjata, pasukan yang dikenal kejam ini melakukan pembantaian di markas PMI, di wilayah Gading. Adalah kediaman Dr. Padmonegoro, ketua PMI cabang Surakarta yang menjadi sasaran serangan itu, saat itu menjadi tempat mengungsi sebagian penduduk sekitar. Kekejaman tentara Baret Hijau Belanda ditunjukkan dengan membantai para pengungsi dengan tanpa melepaskan tembakan sama sekali, namun dengan cara menyembelihnya. Dalam pembantaian dini hari ini, tercatat 14 petugas PMI gugur, ditambah 8 orang pengungsi tewas, sementara 3  orang lainnya yang juga menjadi korban penyembelihan tidak sampai tewas.





Pengaruh Serangan Umum Solo

Serangan Umum Tentara Pelajar Solo (DETASEMEN-II / BRIGADE-17 TNI), 8 Februari 1949, 2 Mei 1949 dan 7 – 10 Agustus 1949 yang kala itu terbukti berhasil memperkuat posisi tawar politik perjuangan diplomasi delegasi Republik Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB), Den Haag, sehingga berujung dicapainya Kedaulatan Republik Indonesia 27 Desember 1949 dapat berdampingan dengan Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945. Hal ini terjadi karena Belanda sadar bila mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Solo yang merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang andal seperti Slamet Riyadi.




0 komentar:

Posting Komentar